Sisa dana ini terjadi karena target defisit APBN Perubahan Tahun 2011 meleset dari sasaran awal 2,1 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 1,1 persen atas PDB pada akhir tahun 2010.
”Defisit (APBN-P 2010) menjadi lebih rendah karena ternyata realisasi penerimaan negara melampaui target yang diinginkan. Jadi, meskipun realisasi belanja lebih tinggi dibandingkan tahun lalu, karena penerimaannya lebih tinggi, defisit APBN menjadi lebih rendah,” ungkap Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati di Jakarta, Selasa (28/12).
Pada awalnya di APBN-P 2010, pemerintah harus mengejar target pembiayaan yang berasal dari utang dan penerbitan obligasi senilai Rp 133,7 triliun.
Dana sebesar itu diperlukan karena anggaran belanja negara yang ditetapkan Rp 1.126,1 triliun tidak dapat ditutup oleh penerimaan negara yang bersumber dari pajak, kepabeanan, dan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 992,4 triliun.
Namun, menurut Anny, pihaknya memproyeksikan, hingga akhir tahun 2010, penerimaan negara akan mencapai 101,5 persen atau 1,5 persen lebih besar daripada target awal Rp 992,4 triliun. Hal ini membuat kebutuhan untuk menerbitkan obligasi menjadi berkurang.
Namun, pada saat yang sama, Kementerian Keuangan menggelar lelang penerbitan obligasi sejak semester I-2010 sehingga dananya sudah masuk ke kas negara lebih dahulu.
Dana obligasi sudah diterima jauh sebelum Kementerian Keuangan sadar bahwa penerimaan negara akan melampaui target.
Kementerian Keuangan telah mendapatkan izin dari DPR untuk menggunakan Silpa 2010 sebesar Rp 23,2 triliun untuk tiga tujuan.
Pertama, membayar tunggakan subsidi listrik pemerintah kepada PT PLN tahun anggaran 2009 senilai Rp 4,6 triliun.
Kedua, menjadi sumber dana jika pemerintah menganggap perlu ada tambahan anggaran senilai maksimal Rp 10 triliun pada tahun 2011. Ketiga, digunakan untuk membayar tunggakan subsidi listrik tahun 2010 yang besarnya masih diperhitungkan.
”Tambahan subsidi listrik pada tahun 2010 memang terjadi karena PLN melakukan berbagai upaya untuk menghindari pemadaman listrik dan kombinasi bahan bakarnya,” tutur Anny.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Pajak berharap pengelolaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) oleh pemerintah kabupaten/kota mulai 1 Januari 2011 berjalan lancar.
”Apabila masih diperlukan pembahasan lebih lanjut tentang pelaksanaan pengelolaan BPHTB, pemda dapat berkoordinasi dengan kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau kantor pelayanan pajak setempat,” kata Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak M Iqbal Alamsyah.
Pemda yang belum memiliki perda tentang BPHTB diharapkan dapat segera menyelesaikan perda dimaksud.
Mulai 1 Januari 2011, pengelolaan BPHTB dialihkan dari pemerintah pusat (Ditjen Pajak) kepada pemda. Pengalihan itu merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Berdasarkan Pasal 180 UU itu, pemerintah daerah kabupaten/ kota dapat memungut BPHTB setelah memiliki dasar hukum daerah, yaitu perda.
Sebelumnya, Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Herry Purnomo, yang juga Dirjen Perimbangan Keuangan, mengungkapkan, hingga awal Desember 2010, baru sekitar 52 daerah yang telah menyiapkan perda dan 142 daerah dalam proses pembahasan dan evaluasi perda. Masih ada 14 daerah yang belum menyusun perda dan 283 daerah yang belum memberikan informasi.