Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Roda Ekonomi "Semar Mendem"

Kompas.com - 16/01/2011, 08:49 WIB

Begitulah, pasar subuh seperti lampu neon terang pada malam gelap yang mampu menarik kawanan laron untuk berkumpul. Ini tidak hanya terlihat di Pasar Subuh Senen, tetapi juga pasar subuh di kawasan Blok M. 

Transformasi ”jirem”

Itu sebabnya pedagang seperti Rudianto dan Mamik tidak pernah khawatir bisnis kue pasar akan meredup. Pasalnya, kue macam ini sudah jadi santapan sehari-hari berbagai kalangan dari wong ndeso sampai orang kota. Kue pasar ada di meja makan keluarga, di tengah pesta, dan di meja rapat perusahaan besar.

Kini, setelah bergaul dengan selera urban, kue pasar mengalami transformasi. Dulu, kue dibuat dengan ukuran besar sehingga lahir istilah jirem (siji marem) di masyarakat Jawa dan jibeuh (hiji seubeuh) di masyarakat Sunda. Maksudnya sama, makan satu sudah bikin kenyang.

Sekarang, ukuran dirancang sesuai selera masyarakat urban yang serbapraktis dan tak mau repot. Kue dibikin dalam ukuran kecil agar bisa masuk ke mulut dalam sekali santap. Seturut dengan itu, pebisnis kue, terutama yang menyasar kelas menengah atas, menyematkan citra baru buat kue pasar.

Gerai Monami, misalnya, memberi label di kemasan kue pasarnya dengan tulisan ”Hidangan praktis, sajian prestise”. Dengan label ini, orang-orang kaya dan kosmopolit tidak perlu takut dibilang ndeso jika menyantap klepon dan talam ubi produksi Monami.

Sebagian konsumen, terutama anak muda, kemudian membuat istilah Inggris buat beberapa kue. Semar mendem, misalnya, jadi the drunken semar. Asal tahu saja, mendem dalam bahasa Jawa berarti mabuk. Serabi notosuman yang sering dijinjing penumpang pesawat sebagai oleh-oleh disebut the flying serabis.

Dengan citra barunya itulah ”habitat” jajanan pasar meluas dari pasar tradisional ke gerai-gerai modern yang namanya berbau Perancis, seperti Monami atau Le Gourmet. Kue itu bahkan melenggang ke mal-mal elite dan mengilap di Jakarta, seperti Senayan City, Mal Pondok Indah II, Central Park, dan Mal Plaza Senayan. Ketika citranya bergeser, harganya pun naik. Kue bugis yang di Senen paling mahal Rp 700 per potong, di mal dijual Rp 4.500.

Bagaimana kue pasar bertahan di tengah derasnya intrusi makanan semacam burger dan kawan-kawannya?

Murdijati Gardjito, Staf Ahli Pusat Kajian Makanan Tradisional Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, mengatakan, warga kota besar, seperti Jakarta, semakin sadar untuk mengetahui riwayat makanan yang mereka makan demi alasan kesehatan. "Nah, makanan yang mereka tahu riwayat bahannya itu, ya, makanan ibu. Kalau makanan impor, mereka belum tentu tahu bahannya apa," ujarnya.

Tren ini, menurut Murdijati, juga terjadi di banyak negara sejak 10 tahun lalu. Alasannya tidak semata-mata kesehatan, tetapi juga politik. Makanan tradisional mereka jadikan alat untuk meredam serbuan fast food, si anak kandung kapitalisme global.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com