Morowali, Kompas
”Masalah tuntutan pemekaran ini sesungguhnya sudah mengganggu. Apa pun yang dilakukan pemerintah kabupaten selalu dibawa ke soal pemekaran. Bahkan, kami sudah dianggap pemerintah kabupaten tetangga. Jadi memang persoalannya pelik. Ini juga terus jadi benih konflik. Jadi kami mendesak pemerintah pusat agar serius menanggapi soal pemekaran Morowali Utara,” kata Bupati Morowali Anwar Hafid di Bungku, Minggu (27/2).
Kisruh berawal dari mekarnya Kabupaten Morowali dari Kabupaten Poso. Dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pemekaran Kabupaten Morowali, Buol, dan Banggai Kepulauan disebutkan ibu kota Morowali di Bungku. Namun, sembari mempersiapkan infrastruktur di Bungku, ibu kota berada di Kolonodale, ibu kota Kecamatan Petasia. Saat pemindahan ibu kota tahun 2007, warga di Petasia dan sekitarnya menolak. Warga di enam kecamatan itu meminta berdiri sendiri menjadi Kabupaten Morowali Utara.
Saat pemindahan ibu kota kabupaten ke Bungku, kantor bupati dan gedung DPRD sementara yang dibangun di Kolonodale hampir rampung. Sejumlah perkantoran juga sudah ada, termasuk rumah jabatan bupati. Saat ini aset itu sia-sia. Nilai bangunan yang telantar ini mencapai puluhan miliar rupiah. Kantor bupati dan gedung DPRD menghabiskan dana Rp 10 miliar lebih.
Luas Kabupaten Morowali sekitar 15.000 kilometer persegi, dengan panjang pantai 800 km, meliputi Teluk Tomori dan Teluk Tolo. Jarak dari Moro atau Mori Atas dengan Bungku, ibu kota Morowali, 300-400 km. Bahkan Petasia, yang jadi ibu kota pertama Morowali, berjarak sekitar 150 km dengan Bungku.
Warga di Petasia tetap ingin pemekaran jadi Morowali Utara. ”Bungku terlalu jauh bagi warga di kecamatan Petasia, Mori, Beteleme, dan lainnya. Pelayanan pemerintah juga terbatas karena sudah jauh, kondisi jalan juga rusak,” kata Syamsuddin (40), warga Kolonodale.