JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mulai membatasi jam operasional angkutan berat pada bulan April mendatang dinilai hanya akan memindahkan masalah. Pasalnya, angkutan berat bisa saja mencari jalan alternatif lain yang akan menciptakan kemacetan lebih hebat lagi.
Hal itu disampaikan Guru Besar Transportasi ITB, Ofyar Z Tamin, Jumat (4/3/2011), di Jakarta. Dikatakan, pihaknya sudah lakukan penelitian, dengan pembatasan kendaran berat bukan memecahkan masalah tapi memindahkan masalah.
"Memang masalah di ruas jalan tol yang kena kebijakan itu akan turun, tapi bisa pindah ke alternatif lain dan bisa timbulkan kemacetan lebih besar," katanya.
Ofyar membandingkan biaya yang timbul akibat membatasi angkutan berat justru lebih besar daripada dampak yang diberikannya. Untuk kendaran yang satu kontainer di atas Rp 100 juta-Rp 150 juta dan harus dibatasi, bisa saja berpengaruh pada tulang punggung ekonomi. "Ini akan berpengaruh pada aktivitas ekonomi nantinya," ujar Ofyar.
Menurut dia, dari desain tata ruang di Jakarta memang salah. Hal ini karena lokasi Tanjung Priok, yang merupakan pusat perdagangan ekspor impor, terletak begitu dekat dengan pusat kota Jakarta. Kondisi ini yang menyebabkan mau tidak mau angkutan berat banyak berlalu lalang di ruas-ruas jalan utama Ibu Kota.
Seperti diberitakan, Pemprov DKI sedang mengkaji upaya mengatasi kemacetan dengan cara membatasi jam operasional kendaraan berat. Kendaraan itu hanya boleh beroperasi mulai pukul 22.00-05.00. Aturan ini akan berlaku untuk truk kontainer, peti kemas, dan angkutan berat lainnya.
Beberapa ruas jalan tol yang akan menerapkan kebijakan ini antara lain jalan tol Tomang, Cawang, Cikunir dan Pasar Rebo yang menuju Tanjung Priok. Direncanakan, penerapan kebijakan tersebut dilaksanakan pada bulan April 2011.
Ketua Organisasi Pengusaha Angkutan Jalan (Organda), Sudirman meminta agar kajian tersebut segera dibuat. "Karena kajian mengenai pembatasan jam operasional angkutan berat hanya memindahkan masalah itu bisa saja dijadikan bahan untuk dikaji ulang," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.