Komisaris Utama Medco Energi International Hilmi Panigoro sebelumnya mengatakan, dengan kondisi penguasaan modal dan teknologi yang masih terbatas, perlu dikombinasikan kekuatan perusahaan nasional dengan multinasional dalam sektor migas.
Hilmi menjelaskan, pemerintah bisa mendorong kemajuan perusahaan migas nasional, antara lain mengubah desain kontrak kerja sama migas agar lebih fleksibel. Lapangan produksi
Pemerintah juga bisa memprioritaskan lapangan migas yang tak membutuhkan biaya dan
”Cara ini dipraktikan di Meksiko. Lapangan-lapangan milik perusahaan multinasional dibeli sedikit demi sedikit sampai akhirnya dikuasai. Dengan cara ini perusahaan multinasional yang keluar dari Meksiko pun tetap diperlakukan adil dan iklim investasi aman,” ujar Hilmi.
Di sektor migas, menurut Kurtubi, isi kontrak yang harus diubah adalah kontrak bagi hasil produksi (production sharing contract/PSC) harus diubah dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi selaku wakil pemerintah menjadi badan usaha milik negara, yakni PT Pertamina.
”Hal ini bertujuan agar negara tidak dirugikan, antara lain dalam kontrak PSC yang sudah selesai, BUMN bisa 100 persen mengambil alih sehingga peluang untuk dijadikan sumber ’ATM’ oleh pihak tertentu bisa dihilangkan,” katanya. Dengan demikian, pada akhirnya Indonesia akan dapat mengoperasikan mayoritas lapangan migas di Indonesia.
Pri Agung menyatakan, sistem PSC sebenarnya sudah cukup bagus bagi negara, tetapi dalam implementasi perlu lebih dioptimalkan. ”Renegosiasi tidak diperlukan secara menyeluruh seperti halnya di tambang umum, hanya pada kasus-kasus tertentu saja, seperti Blok Tangguh dan East Natuna,” ujarnya.
Berdasarkan data BP Migas, ada beberapa kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas yang akan berakhir masa kontraknya kurang dari 10 tahun. Masa kontrak Total E & P Indonesie yang mengelola Blok Mahakam, misalnya, akan berakhir pada