Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia 2050 seperti Apa?

Kompas.com - 17/10/2011, 02:12 WIB

Ahmad Syafii Maarif

Dengan jumlah warga sekitar 400 juta pada tahun 2050—jika pertumbuhan penduduk 1,48 persen per tahun berkelanjutan—Indonesia mungkin akan menggeser posisi Amerika Serikat yang kini berada di peringkat ketiga—setelah China dan India—dengan jumlah penduduk 325.000.000, berkat program keluarga berencana yang dijalankan.

China dan India dengan penduduk masing-masing 1,3 miliar dan 1,1 miliar tampaknya akan tetap berada di puncak saat penghuni planet Bumi ini mencapai 9.850 juta (mendekati 10 miliar) tahun itu. Para pakar demografi umumnya mencemaskan laju pertumbuhan penduduk yang dahsyat itu jika negara-negara di dunia tidak cukup awas memperhitungkannya lebih awal. Hanya tersisa 39 tahun menjelang umat manusia berada pada angka yang mencemaskan itu. Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, laju pertumbuhan penduduk yang tak terkendali pasti akan mengundang masalah-masalah serius yang sulit diperkirakan akibatnya.

Mengapa demikian?

Kritik yang sering disampaikan di antaranya tebersitnya nuansa pesimisme dalam tulisan dan pernyataan-pernyataan yang berasal dari saya di berbagai forum dan media. Penilaian itu tentu mengandung unsur kebenaran. Namun, jika orang membaca latar belakang mengapa saya bersikap demikian, kadar tudingannya mungkin akan menurun.

Dengan jumlah penduduk sekian miliar pada tahun 2050, pertanyaan mencekam yang sering mendera saya adalah: dengan tingkat korupsi dan perusakan hutan seperti yang berlaku sekarang, sementara pemerintah setengah lumpuh menghadapinya, apakah Indonesia tercinta ini masih memberikan kenyamanan untuk dihuni? Kemudian, dengan semakin dalam cakaran kuku asing di dunia perbankan, di pertambangan migas, di tengah sistem perpajakan Indonesia yang sangat kumuh, kondisi bea cukai yang semrawut, dan perilaku korup politisi dan pengusaha hitam, apakah wajah bangsa ini pada tahun itu masih ceria atau sudah kusam sama sekali? Atau kita sudah menjadi budak di rumah kita sendiri? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tak pernah hilang dari ingatan saya, seperti jutaan warga lain yang seperasaan.

Saya tidak menyesal menjadi orang Indonesia, bahkan dengan penuh kebanggaan perasaan syukur tetap menyertai kehidupan saya yang sekarang berusia 76 tahun. Namun, mengapa jiwa saya tetap saja berontak mengamati perkembangan Tanah Air yang teramat jauh dari cita-cita kemerdekaan. Sebut misalnya keadilan untuk semua warga, kondisinya jelas semakin memburuk dari hari ke hari, sementara mereka yang berada di puncak piramida adalah penikmat kemerdekaan yang hampir tanpa batas. Lalu, untuk siapa sebenarnya kemerdekaan ini? Biarlah publik yang menilai, apakah lontaran-lontaran kegemasan saya didasarkan pada ketulusan atau ada agenda tersembunyi yang ingin diraih, saya tidak hirau. Monggo ke mawon, kulo mboten kesah.

Fakta di bawah ini perlu mendapat perhatian. Coba kita turunkan angka-angka kerusakan lingkungan fisik ini, belum lagi kerusakan budaya yang permisif untuk kejahatan. Menurut Badan Planologi Kementerian Kehutanan tahun 2003, laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun. Periode 1997-2000 naik menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Maka jadilah Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di muka Bumi.

Lagi, berdasarkan data resmi 2006, luas hutan yang rusak dan tak berfungsi maksimal mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia. Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar per tahun. Anda tinggal mengalikan saja—jika tidak ada politik tegas dan keras yang diterapkan—bagaimana kira-kira Indonesia pada tahun 2050.

Kerusakan dahsyat ini umumnya dilakukan oleh pengusaha-pengusaha hitam yang bersekongkol dengan pejabat setempat. Kerusakan dalam skala lebih kecil juga berasal dari warga demi menyambung napas untuk hidup karena lapangan pekerjaan yang tidak tersedia. Berlaku tali-temali di sini antara mengejar keperluan primer dan kerusakan lingkungan sebagai akibatnya. Buntut dari kerusakan lingkungan ini amatlah jauh: habitat hewan dalam berbagai jenis makin terdesak oleh ulah manusia. Harimau, beruk, babi, dan binatang jenis lain mengamuk karena manusia telah menggusurnya. Keseimbangan ekosistem hancur berantakan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com