Jakarta, Kompas
Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Derom Bangun, yang dihubungi di Medan, Minggu (16/10), mengatakan, wacana tersebut sesuai sekali dengan pertumbuhan produksi CPO Indonesia.
Pelabuhan Rotterdam, Belanda, tetap penting sebagai pasar tradisional CPO Indonesia. Akan tetapi, upaya menambah pelabuhan tujuan ekspor produk turunan kelapa sawit untuk menjangkau pasar Jerman, Turki, Ukraina, dan Serbia, dapat meningkatkan volume ekspor yang merupakan suatu keharusan untuk merespons kenaikan produksi.
Indonesia memproduksi 22,7 juta ton CPO tahun 2010 dan mengekspor 16,5 juta ton. Produksi CPO tahun 2011 diprediksi mencapai 24 juta ton.
Indonesia mengekspor 2 juta ton-2,5 juta ton CPO per tahun ke Eropa melalui Rotterdam. Sebagian besar berbentuk CPO yang kemudian diolah kembali oleh industri pangan dan energi di Eropa.
Menurut Derom, porsi yang selama ini ke Rotterdam bisa beralih sebagian ke Turki, Spanyol, Ukraina, dan Serbia. ”Untuk itu lebih tepat bukan CPO, tetapi jenis hasil olahan yang sejalan dengan program hilirisasi yang tengah didorong oleh pemerintah. Dalam jangka panjang, penambahan pelabuhan tujuan ini mungkin dapat menciutkan volume ke Rotterdam,” ujarnya.
Saat ini, Indonesia tengah menjajaki pemindahan basis perdagangan CPO di Uni Eropa, dari yang selama ini berpusat di Pelabuhan Rotterdam, Belanda, ke negara Eropa lain. Penjajakan dilakukan di tiga negara, yaitu Jerman, Turki, dan Serbia.
Pekan lalu, Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi mengatakan, Indonesia tengah mengkaji ulang strategi perdagangan sawit di pasar Uni Eropa.
”Kita sudah betul-betul melihat kemungkinan memindahkan basis perdagangan kita dari Rotterdam,” jelas Bayu.
Ia menjelaskan, pasar CPO di Eropa Timur, Eropa Utara, dan negara-negara Balkan terus tumbuh.
Berbeda dengan pasar Eropa Barat, yang cenderung banyak maunya. Belum lagi dominannya peran
Bayu mengatakan, adanya aturan EU Renewable Energy Directive mengakibatkan CPO Indonesia sulit masuk ke pasar Eropa.