”Koleksi ini saya persembahkan bagi para perempuan yang gemar berpenampilan maksimal, senang menunjukkan karakternya. Pasar Thailand umumnya lebih suka warna nude, tapi saya tawarkan warna-warni cerah karena pasar fashion Asia Tenggara tengah bergairah,” kata Phisit yang melihat plagiarisme sebagai ancaman serius bagi perkembangan industri mode Asia.
Pergelaran malam itu ditutup oleh koleksi busana perancang Singapura, Ashley Isham (35), yang anggun, lengkap dengan topi dan hiasan kepala. Koleksinya secara keseluruhan ingin menonjolkan sisi kemodernan perempuan dengan garis rancang yang tajam, tetap feminin, berkelas, dengan nuansa seksi yang sopan. ”Itu semangat utamanya. Saya ingin membuat perempuan semakin cantik. Namun, saya mengutamakan kenyamanan. Busana harus terasa nyaman sehingga kecantikan perempuan keluar dan membuat kecantikannya semakin bersinar. Itu sebabnya, saya menyukai bahan jersey,” ujar Ashley yang memiliki butik di kawasan Timur Tengah, London, Malaysia, Shanghai, dan Beijing.
Ashley melihat banyak perancang muda di ASEAN saat ini memiliki bakat luar biasa. Pergelaran besar seperti JFW amat berguna untuk mengamplifikasi hal itu. Namun, ia mengingatkan, kekayaan budaya bisa menjadi inspirasi sekaligus titik lemah. Untuk bisa menembus pasar internasional, para perancang harus pandai-pandai mengolah kembali unsur budaya lokal yang medok. ”Perlu kepandaian tersendiri untuk mentransformasi unsur etnik menjadi lebih universal sehingga mudah diterima di pasar fashion di belahan dunia mana pun,” katanya.
(MYR/SF/WKM/IYA)