Demikian dikemukakan Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) Arum Sabil di Jember, Rabu (16/11). ”Justru paling penting revitalisasi pabrik gula besar dan potensial, sedangkan yang kecil digabung menjadi satu perusahaan sehingga lebih efisien. Bukan menggabungkan menjadi satu tanpa perluasan areal perkebunan tebu. Justru penggunaan gula rafinasi bisa merajalela,” katanya menanggapi wacana penggabungan seluruh pabrik gula di dua PTPN.
Menyangkut perbedaan penetapan rendemen gula dan porsi dana talangan yang diterapkan dua PTPN itu, Kementerian BUMN harus tegas. ”Aturan sudah jelas, tetapi manajemen pabrik gula justru terus melakukan perbedaan perlakuan soal rendemen dan dana talangan. Akibatnya, petani tebu mencari pabrik yang memberi margin besar,” kata Arum Sabil.
Hal itu, misalnya, dilakukan petani tebu di Probolinggo yang cenderung menjual tebu ke PTPN X karena lebih menjanjikan. Jika menjual tebu di PTPN XI, nilai akhirnya rendah meskipun nilai lelang gula sebenarnya tinggi.
”Perlakuan berbeda itu karena APTR membeli tebu petani dengan sistem ijon. Mereka membeli dengan harga seadanya di awal. Padahal, ketika lelang gula, ternyata harga melambung. Namun, kata petani tebu asal Pejarakan, Kabupaten Probolinggo, Faiqul Imam, hal itu tidak dinikmati petani karena ada kewajiban menjual tebu lewat APTR.
Menurut Faiqul, meski nilai lelang gula Rp 8.400-Rp 8.500 per kilogram, petani hanya menikmati di bawah Rp 8.000 per kilogram. ”Biasanya nilai akhir yang diterima petani hanya Rp 7.800 per kilogram. Penerimaan rendah karena sistem ijon tersebut, dan ini terjadi di PTPN XI,” kata pemilik lahan tebu seluas 40 hektar di Pejarakan itu.
Akibatnya, 70 persen produksi tebu dari 1 ton per hektar dipasarkan ke PTPN X karena lebih untung. Sisanya, 30 persen, ke PTPN XI untuk menjaga hubungan baik saja.
Ketua Koperasi Petani Tebu Rakyat Mitra Usaha PG Semboro Jember Marzuki Abd Ghofur mengatakan, banyak petani di Situbondo dan Jember seharusnya menggiling di pabrik gula terdekat, yakni PTPN XI, justru memilih PTPN X meski jarak tempuh lebih jauh.
”Kalau dihitung jarak mestinya biaya angkutan lebih mahal, tetapi hasil jual ke PTPN X justru lebih bagus,” katanya.
Bagi petani, perubahan sistem tata niaga di pabrik gula sudah mendesak. Penggabungan diharapkan mampu mengikis selisih harga tebu petani.