BANJARMASIN, KOMPAS -
Aspirasi itu mereka sampaikan dengan cara menutup jalan tambang yang berada di Desa Lukbatu, Kecamatan Haruai, sejak dua hari terakhir. Selasa (31/1) siang, perwakilan masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Adat Dayak Deah Kampung Sepuluh (Laddeks) bertemu dengan unsur musyawarah pimpinan daerah dan pihak perusahaan.
Ruliananda Efanus, salah satu tokoh warga, yang dihubungi, menuturkan, nilai kompensasi yang dituntut warga mencapai Rp 55 miliar. Uang itu sebagai pengganti atas tanah yang dieksploitasi seluas 700-an hektar.
Dikonfirmasi secara terpisah, General Manager Operasional PT Adaro Indonesia Priyadi mengatakan, masalah ini masih dalam proses penyelesaian. Pihaknya tidak bisa berkomentar terlalu banyak karena soal tanah ulayat bukan menjadi kewenangannya. ”Saya bukan pejabat yang berwenang untuk menentukan soal tanah ulayat,” ujarnya.
Penjagaan
Aparat Kepolisian Resor Pati, Jawa Tengah, meningkatkan penjagaan pasca-bentrokan massa pro dan kontra pembangunan pabrik semen. Penjagaan itu
Kepala Kepolisian Resor Pati Ajun Komisaris Besar Bernard Sibarani, Selasa (31/1), mengatakan, penjagaan dilakukan di setiap kepolisian sektor (polsek), terutama di Kecamatan Tambakromo dan Kayen. Polisi juga menggiatkan patroli untuk memantau kondisi masyarakat.
”Dalam pengamanan itu, polisi tidak akan memihak kubu pro atau kontra pembangunan pabrik semen. Kalau ada yang membuat suasana tidak kondusif, kami akan menindak tegas,” kata dia.
Pada Senin (30/1) massa pro dan kontra pembangunan pabrik semen bentrok. Insiden itu menyebabkan seorang warga pro pembangunan luka pada bagian kepala dan seorang personel Kepolisian Resor Pati luka memar di bagian mulut (Kompas, 31/1).
Asisten III Bidang Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Daerah Kabupaten Pati, Purwadi, mengemukakan, Pemerintah Kabupaten Pati tidak memihak kubu mana pun. Sejak awal, pemerintah telah memfasilitasi kedua pihak yang berseberangan untuk berdialog.
Kasus Lingkungan di Pati itu juga dialami Masyarakat Nagari Guguak Malalo, Kecamatan Batipuah Selatan, Kabupaten Tanahdatar, Sumatera Barat. Mereka menuntut dilakukannya audit lingkungan atas aktivitas produksi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Singkarak yang tidak memedulikan lingkungan. Tokoh masyarakat Nagari Guguak Malalo, Masrial Akmal (51), mengatakan, tidak kurang dari 106 hektar lahan sawah rusak dan delapan mata air kering menyusul aktivitas PLTA Singkarak.
”Selain itu, kerugian masyarakat masih ditambah dengan berkurangnya jenis ikan yang bisa ditangkap di Danau Singkarak,” kata Masrial. Hari itu, puluhan warga Nagari Guguak Malalo mendatangi Gubernur Sumbar Irwan Prayitno di Kota Padang guna menuntut penyelesaian atas persoalan tersebut.
Warga juga menuntut kajian ulang atas surat keputusan Gubernur Sumbar tentang pembagian kontribusi dana pajak air permukaan dan peraturan daerah Sumbar tentang pajak air bawah tanah. Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mengatakan, tuntutan masyarakat merupakan hal yang rasional. Ia meminta PLN agar dapat memberikan perhatian lebih melalui peningkatan kontribusi corporate social responsibility (CSR) kepada masyarakat.
”Karena di Nagari Malali inilah tempat saluran intake PLTA Singkarak” kata Irwan.(WER/INK/HEN)