Jakarta, Kompas -
Direktur Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Muhammad Anshor mengungkapkan hal ini di Jakarta, Kamis (16/2). Langkah ini sungguh menggembirakan di tengah berbagai kasus pelanggaran HAM sampai hukuman mati yang menimpa sebagian dari sedikitnya 6 juta tenaga kerja Indonesia di sejumlah negara penempatan.
Proses selanjutnya menunggu pimpinan DPR memutuskan komisi yang membahas dengan wakil pemerintah. Pembahasan ratifikasi akan diintegrasikan dengan revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 soal Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja di Luar Negeri, di DPR.
”Ratifikasi ini bukanlah tujuan, melainkan merupakan awal dari proses penerapan norma dan standar baru untuk memperkuat perlindungan TKI. Kami berharap setelah Indonesia meratifikasi, negara-negara lain juga turut meratifikasi,” ujar Anshor.
Konvensi PBB 1990 dideklarasikan di New York, Amerika Serikat, 18 Desember 1990, dan menjadi hukum internasional sejak
Direktur Eksekutif Migrant Care—organisasi nonpemerintah yang aktif membela buruh migran—Anis Hidayah mengapresiasi upaya Kementerian Luar Negeri mendorong proses ratifikasi. ”Kami berharap Komisi I proaktif memproses ratifikasi di DPR,” ujar Anis.
Wakil Koordinator Tim Khusus Perlindungan TKI DPR, yang juga anggota Komisi III, Eva Kusuma Sundari bersyukur atas kesediaan pemerintah dan memastikan DPR merespons positif. ”Konsekuensi ratifikasi harus ditaati berupa pembentukan hukum nasional yang baru dan harmonisasi undang-undang yang ada. Proses pembuatan RUU Pekerja Rumah Tangga dan revisi juga harus disesuaikan,” ujarnya.
Secara terpisah, Ketua Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia Yunus M Yamani meminta pemerintah membuat peraturan yang menegaskan Kementerian Luar Negeri bertanggung jawab melindungi TKI di negara penempatan.
”Perlindungan TKI lewat asuransi dengan menunjuk swasta jelas tidak tepat dan salah sasaran. Tetapi, faktanya, setiap kali ada masalah TKI, pemerintah selalu menyalahkan pengusaha,” ujar Yunus.