Pontianak, Kompas -
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalbar Anton P Widjaya, Jumat (9/3), mengatakan, saat perluasan kebun kelapa sawit, konsep kerja samanya sering merugikan petani. ”Konsep kerja sama yang tidak adil memicu konflik petani dengan perusahaan. Ekspansi semakin tak terkendali karena pemerintah justru mengampanyekan pembukaan kebun kelapa sawit hingga mencapai 1,5 juta hektar di Kalbar,” kata Anton.
Di Kalbar, kata Anton, ada beberapa jenis modus perluasan kebun kelapa sawit yang memicu konflik. ”Penyerobotan, penipuan hak milik, dan pengambil alihan secara paksa juga turut berkontribusi,” katanya.
Konflik juga sering terjadi dalam konsep kerja sama inti dan plasma. Petani sebagai plasma kerap mendapatkan kavling kebun sawit di tempat yang sulit dijangkau dengan produktivitas rendah.
Sementara itu, masyarakat di Sumatera Selatan terus mendesak pemerintah daerah untuk mencabut sejumlah izin perusahaan perkebunan di provinsi itu. Berbagai kelompok petani terus menyoal perizinan yang tidak berpihak pada mereka, seperti yang berlangsung di Kantor Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Kamis lalu.
Sekitar 500 petani dari 15 desa di Kecamatan Pangkalan Lampam mendesak Pemkab OKI mencabut izin prinsip perusahaan swasta yang hendak membuka perkebunan tebu sekitar 40.000 hektar di desa mereka.
Di Jambi, Rian, Program Officer Yayasan Setara yang meneliti konflik lahan perkebunan sawit, mengatakan, ketiadaan konversi lahan sebagaimana janji perusahaan sawit kepada masyarakat di awal kemitraan kerap memicu konflik. Di Jambi, ada 38 konflik masyarakat dan perusahaan sawit yang mengambang.