Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hatta: Harga BBM Bersubsidi Tak Ikuti Mekanisme Pasar

Kompas.com - 02/04/2012, 17:38 WIB
Ester Meryana

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, menegaskan bahwa harga eceran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tidak mengacu pada mekanisme pasar. Ini karena sebagian besar harga BBM masih disubsidi. Hatta mengatakan hal ini sebagai tanggapan bagi rencana gugatan pakar hukum tata negara, Yusril Izha Mahendra, terkait APBN-Perubahan 2012 ke Mahkamah Konstitusi.

Salah satu pertimbangan Yusril adalah penafsiran MK tahun 2005 ketika pengujian Pasal 28 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Yusril mengatakan, substansi Pasal 7 Ayat 6a dalam UU APBN-P 2012 itu sama dengan UU Migas dan Gas Bumi sebelum dibatalkan MK. Intinya adalah harga migas diserahkan ke mekanisme pasar.

"Saya kira silakan (Yusril melakukan gugatan). MK pernah melakukan review dan memutuskan sangat jelas tahun 2005 itu MK mengatakan bahwa harga eceran BBM bersubsidi ditetapkan pemerintah," ujar Hatta kepada Kompas.com, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (2/4/2012).

Hatta menjelaskan, harga BBM bersubsidi sekarang ini bukan terbentuk oleh mekanisme pasar. Jika dilepaskan ke pasar, maka harga BBM seperti premium dan solar, seharusnya mencapai Rp 12.000 per liternya. Sekarang ini, harga BBM masih mendapatkan subsidi sehingga dijual Rp 4.500 per liternya. Subsidi BBM yang akhirnya dipatok pemerintah dan diputuskan DPR dalam APBN-P 2012 sekitar Rp 137 triliun untuk tahun ini.

Akan tetapi, Hatta tetap mempersilahkan jika ada pihak yang melakukan gugatan terhadap Pasal tersebut atau yang berpandangan bahwa harga BBM didasarkan pada mekanisme pasar. "Silakan, wong ini negara hukum, apa pun bisa dilakukan, silakan," pungkas dia.

Sementara itu, secara terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik berpandangan, Pasal 7 ayat 6a justru adalah ketentuan bagi pemerintah untuk mengatur harga BBM bersubsidi. "Itu yang ada di UU Migas yang dulu sudah dibatalkan oleh MK karena pemerintah tidak mengatur. Jadi pemerintah harus mengatur. Nah (untuk) mengatur ini (harga BBM) ada aturannya. Nah kemarin yang keluar di UU APBN-P kan diatur melalui mekanisme itu ya kita ikuti," ucap Jero.

Untuk diketahui saja, hasil Rapat Paripurna DPR untuk APBN-P 2012 menghasilkan Pasal 7 Ayat 6a yang menyebutkan pemerintah bisa menyesuaikan harga jika selisih realisasi harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) dengan asumsi mencapai 15 persen dalam kurun waktu 6 bulan terakhir.

Bukan hanya Yusril, pengamat perminyakan, Kurtubi juga beranggapan bahwa acuan pemerintah untuk menyesuaikan harga adalah ICP, merupakan hal yang tidak benar sesuai dengan penafsiran MK. Seharusnya acuan pemerintah adalah biaya pokok BBM.

Menurut Kurtubi, sebelum UU Migas ada, pemerintah selalu menggunakan biaya pokok. Anehnya lagi, pemerintah justru menggunakan biaya pokok listrik dalam menghitung besaran subsidi listrik. Tetapi hal ini tidak dilakukan untuk subsidi BBM. "Pemerintah saat ini dalam menghitung subsidi listrik menggunakan biaya pokok listrik, tapi untuk BBM menggunakan harga pasar yang tidak diperbolehkan MK," sebut Kurtubi ketika dihubungi Kompas.com, Minggu (1/4/2012).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com