Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Defisit Besar, Tanda Likuiditas Kedodoran Perlu Diwaspadai

Kompas.com - 05/07/2012, 05:37 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Defisit anggaran pemerintah senilai Rp 36 triliun per 21 Juni perlu diwaspadai sebagai sinyal goyahnya likuiditas anggaran pemerintah. Apalagi di tengah situasi melemahnya perekonomian global, pertumbuhan penerimaan potensial lebih lambat dibandingkan dengan percepatan belanja yang ujung-ujungnya bisa menambah defisit anggaran.

Ekonom Sustainable Development Indonesia, Dradjad H Wibowo, di Jakarta, Rabu (4/7), menyatakan, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 senilai Rp 36 triliun per 21 Juni menunjukkan likuiditas anggaran pemerintah kedodoran. Apalagi, porsi terbesar belanja berasal dari belanja pegawai.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Agus Suprijanto menyebutkan, realisasi penerimaan dan belanja negara per 21 Juni sebesar Rp 629,4 triliun dan Rp 593 triliun. Artinya, terjadi defisit senilai Rp 36 triliun.

Porsi terbesar realisasi belanja adalah gaji pegawai negeri sipil, yakni Rp 104,1 triliun atau 49 persen. Sementara realisasi belanja modal baru Rp 30,6 triliun atau 18,2 persen.

Dradjad berpendapat, surplus ataupun defisit yang terlalu besar pada prinsipnya tidak baik. Hal ini menunjukkan ada persoalan dalam prognosa likuiditas. Ukuran surplus ataupun defisit yang bagus maksimal Rp 10 triliun.

Hal yang perlu dicemati, Dradjad melanjutkan, adalah mengapa penerimaan negara tidak dapat mengimbangi belanja negara yang mayoritas bersifat rutin. Menjadi alarm waspada apabila penerimaan negara melambat akibat turunnya ekspor menyusul pelemahan ekonomi global.

”Penyebab penerimaan pajak tidak mengejar belanja apakah karena ketidakefektifan pajak atau karena faktor global akibat pelemahan ekspor. Kalau penyebabnya faktor global, kita harus waspada. Krisis Eropa belum puncaknya saja kita sudah terkena dari sisi penerimaan. Ini lampu kuning,” kata Dradjad lagi.

Secara terpisah, Sekretaris Komite Ekonomi Nasional Aviliani berpendapat, turunnya harga komoditas dan barang tambang bisa menjadi salah satu faktor penurunan pajak dari sisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Meskipun volume ekspor tetap, tetapi jika harga turun, bisa berdampak pada merosotnya PPN.

”Ini perlu dideteksi. Pemerintah jangan hanya selalu melihat peningkatan harga komoditas, tetapi juga harus mengantisipasi turunnya harga komoditas. Turunnya pendapatan negara bisa berujung pada semakin besarnya defisit yang akhirnya mengganggu kepercayaan investor,” kata Aviliani.

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Dedi Rudaedi menyatakan, pihaknya belum mengetahui persis realisasi penerimaan pajak karena data sedang direkonsiliasi.

”Namun, mudah-mudahan penerimaan tidak terpengaruh (krisis global) secara signifikan,” katanya. (LAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com