Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Hobi Jadi Pengusaha Produk Kulit Buaya Beromzet Ratusan Juta

Kompas.com - 14/08/2012, 09:53 WIB
Dimasyq Ozal

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Tidak sedikit orang menjadikan produk kulit buaya sebagai barang hobi atau kesenangan belaka. Namanya hobi, sekalipun mahal, tetap mereka beli.

Akan tetapi, tidak banyak yang lebih memilih menghasilkan sendiri untuk dijual ketimbang sekadar membeli atau menjual kembali barang yang dibelinya ke sesama pehobi. Pardianto adalah salah satu di antaranya. Pria ini mulai menyukai berbagai produk dari kulit, seperti sepatu, ikat pinggang, dan dompet, sejak 1991. Berselang delapan tahun kemudian sebagai pehobi, ia memutuskan terjun sebagai pengusaha kerajinan kulit buaya itu.

"Lambat laun, ada niat dari saya untuk belajar bagaimana membuatnya dari perajin lain dan akhirnya kita bisa menghasilkan sendiri. Daripada hanya jadi penikmat saja yang hanya menghabiskan uang," ujarnya kepada Kompas.com ditemui di ajang pameran fashion dan kerajinan tangan di JCC Senayan, Jakarta, akhir pekan lalu.

Kini, melalui usaha kerajinan kulit buaya asli dari Provinsi Papua tersebut, ia mengaku mampu menghasilkan pendapatan kotor Rp 100 juta dalam sebulan. Itu pun masih bentuk industri rumahan dengan bantuan alat manual non-mesin modern atau handmade dan tidak bermerek jual. Pegawainya pun hanya berjumlah lima orang.

Pardianto mengatakan, populasi buaya di Papua terbilang banyak. Ini membuat keberadaannya cukup membahayakan bagi masyarakat, terutama anak-anak di sekitar rawa, sungai, dan pantai. Menurutnya, hewan ini pun akhirnya menjadi salah satu sumber kehidupan bagi masyarakat sekitarnya. Warga memanfaatkan buaya mulai dari kulit, daging, gigi, telur, hingga empedunya. Selain hasil penangkapan, ada juga yang ditangkarkan di suatu tempat hingga menghasilkan keturunan.

"Kita di Papua sudah memiliki izin dari pemda untuk membudidayakan buaya. Kita juga bermitra dengan konservasi sumber daya alam di sana. Mungkin kalau di wilayah Indonesia barat, membunuh buaya hal yang legal, tapi di Papua tidak demikian," ungkapnya.

Kulit buaya yang didapat Pardianto berasal dari masyarakat sekitar. Ia hargai kulit Rp 30.000 per inci. Seekor buaya ukuran besar bisa mencapai 20 inci kulit dan dalam 1-3 hari bisa mendapat pasokan sekitar 200 inci. Kulit mentah itu berbentuk kasar, bersisik hitam, dan masih banyak daging yang menempel.

Melalui industrinya, kulit tersebut disamak atau dihaluskan dengan cara manual tanpa bantuan mesin modern. Ketika dirasa sudah halus, maka layak pakai atau sesuai standar dijadikan sebagai bahan dasar kain.

Dalam sebulan, rumah produksinya mampu memproduksi sekitar 500 dompet, 25 tas wanita, dan 150 ikat pinggang. Sebagian besar wilayah pemasarannya masih sebatas di Papua saja, seperti Timika, Sorong, dan Merauke. Kendati demikian, ia mengaku penjualannya tidak pernah merugi.

"60 persen dari total produksi sebulan bisa habis terjual. Kebanyakan pembeli dari kalangan pejabat, pengusaha yang berkunjung ke Papua, dan juga satgas yang bertugas di wilayah perbatasan," ujarnya.

Wilayah Jakarta dan sekitarnya hanya dijadikan tempat pameran. Akan tetapi, ia juga menyadari pasar di Jawa sangat potensial bagi produknya. Maka dari itu, ia juga mempunyai tempat produksi sekaligus showroom di daerah pasar wisata Sidoarjo, Jawa Timur, dengan pasokan kulitnya tetap dari Papua.

Harga lebih murah

Produk Pardianto pun direspons cukup baik oleh konsumen, harga yang ditawarkan terbilang murah dibanding produk serupa di tempat lain. "Bila saya ke suatu toko di Plaza Senayan, sepasang sepatu dengan merek terkenal Hermes atau Louis Vuitton seperti ini bisa mencapai Rp 40 juta, dompet dan ikat pinggang Rp 15 juta, dan tas wanita bisa mencapai Rp 400 juta," ungkap salah seorang pembeli saat mengunjungi stan pameran Purdianto.

Hanya saja, ia mengaku, penyamakan kulit buaya dari kerajinan Pardianto memang tidak sehalus dengan buatan brand-brand ternama itu yang menggunakan mesin modern ratusan juta rupiah. Menurutnya, bila Purdianto mau bermodal mesin tersebut dan memakai merek, maka harga jual sekarang bisa 2-5 kali lipat.

Sementara produk Pardianto dibanderol mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah, seperti dompet dan ikat pinggang kisaran Rp 300.000, sepatu Rp 1,8 juta-Rp 2 juta, dan tas wanita Rp 2 juta-Rp 2,5 juta. Dari ketiga barang tersebut, Pardianto mengakui, tas wanita dan dompetlah yang paling laku di pasaran.

"Harga fashion kulit buaya ini umumnya diketahui oleh masyarakat kalangan menengah atas. Kalau ada tamu ke rumah lalu saya bilang harganya Rp 5 juta dan itu asli, pasti bakal langsung dibayar," ungkapnya tertawa lepas sembari menunjukkan dompet kulit pribadinya berumur lebih dari enam tahun merupakan hasil produksi sendiri.

Ia mengungkapkan, butuh permodalan yang cukup besar bila ingin menerapkan mesin produksi modern. Padahal, tawaran Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari berbagai bank daerah berdatangan. Namun, hingga saat ini ia masih belum berani mencobanya. Selain permodalan, juga butuh perizinan, sumber daya manusia lebih banyak dan sebagainya.

"Saya bersyukur dengan usaha yang sekarang ini bisa punya rumah, tanah, dan kendaraan pribadi. Selama 14 tahun, usaha ini pun juga tidak pernah merugi," tutur pemilik CV Argo Boyo Timika ini.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Bagaimana Prospek IPO di Indonesia Tahun Ini Usia Pemilu?

    Bagaimana Prospek IPO di Indonesia Tahun Ini Usia Pemilu?

    Whats New
    Harga Makanan Global Diperkirakan Turun, Konsumen Bakal Lega

    Harga Makanan Global Diperkirakan Turun, Konsumen Bakal Lega

    Whats New
    Laba Bersih Astra Agro Lestari Turun 38,8 Persen, Soroti Dampak El Nino

    Laba Bersih Astra Agro Lestari Turun 38,8 Persen, Soroti Dampak El Nino

    Whats New
    Naik, Pemerintah Tetapkan Harga Acuan Batu Bara hingga Emas April 2024

    Naik, Pemerintah Tetapkan Harga Acuan Batu Bara hingga Emas April 2024

    Whats New
    Alasan Mandala Finance Tak Bagi Dividen untuk Tahun Buku 2023

    Alasan Mandala Finance Tak Bagi Dividen untuk Tahun Buku 2023

    Whats New
    Efek Panjang Pandemi, Laba Bersih Mandala Finance Turun 35,78 Persen

    Efek Panjang Pandemi, Laba Bersih Mandala Finance Turun 35,78 Persen

    Whats New
    Heboh soal Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta, Cek Ketentuannya

    Heboh soal Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta, Cek Ketentuannya

    Whats New
    KB Bank Targetkan Penyelesaian Perbaikan Kualitas Aset Tahun Ini

    KB Bank Targetkan Penyelesaian Perbaikan Kualitas Aset Tahun Ini

    Whats New
    Astra Agro Lestari Sepakati Pembagian Dividen Rp 165 Per Saham

    Astra Agro Lestari Sepakati Pembagian Dividen Rp 165 Per Saham

    Whats New
    Ditopang Pertumbuhan Kredit, Sektor Perbankan Diprediksi Semakin Moncer

    Ditopang Pertumbuhan Kredit, Sektor Perbankan Diprediksi Semakin Moncer

    Whats New
    Survei: 69 Persen Perusahaan Indonesia Tak Rekrut Pegawai Baru untuk Hindari PHK

    Survei: 69 Persen Perusahaan Indonesia Tak Rekrut Pegawai Baru untuk Hindari PHK

    Work Smart
    Heboh soal Kualifikasi Lowker KAI Dianggap Sulit, Berapa Potensi Gajinya?

    Heboh soal Kualifikasi Lowker KAI Dianggap Sulit, Berapa Potensi Gajinya?

    Whats New
    Tantangan Menuju Kesetaraan Gender di Perusahaan pada Era Kartini Masa Kini

    Tantangan Menuju Kesetaraan Gender di Perusahaan pada Era Kartini Masa Kini

    Work Smart
    Bantuan Pesantren dan Pendidikan Islam Kemenag Sudah Dibuka, Ini Daftarnya

    Bantuan Pesantren dan Pendidikan Islam Kemenag Sudah Dibuka, Ini Daftarnya

    Whats New
    Tanggung Utang Proyek Kereta Cepat Whoosh, KAI Minta Bantuan Pemerintah

    Tanggung Utang Proyek Kereta Cepat Whoosh, KAI Minta Bantuan Pemerintah

    Whats New
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com