Tokyo, Kompas -
”Mereka (Jepang) mengharapkan, yang pertama, agar bea keluar (atas produk mineral dan barubara) tidak diterapkan. Kedua, mengharapkan agar kewajiban untuk divestasi dihilangkan,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di Tokyo, sebagaimana dilaporkan wartawan Kompas,
Ketiga, pihak Jepang juga mengharapkan ada evaluasi terhadap kewajiban tidak mengekspor bahan mentah.
Hatta menuturkan, pihaknya telah menjelaskan kepada delegasi Jepang alasan Indonesia melakukan kebijakan tersebut, yakni Indonesia juga menginginkan ada nilai tambah.
”Kita sudah lebih dari 50 tahun mengekspor bahan mentah. Tentu kita ingin juga mengambil nilai tambah dari industri yang telah ada, membuka lapangan kerja, dan juga membuka industri,” kata Hatta.
Menurut Hatta, pihak Jepang memahami penjelasan tersebut, tetapi tentu diperlukan dialog-dialog lain. ”Terhadap pungutan ekspor 20 persen, saya jelaskan bahwa itu bukan keinginan kita untuk mencari tambahan pajak,” ujarnya.
Namun kenyataannya, sejak larangan ekspor diberlakukan, terjadi overeksploitasi yang luar biasa. Peningkatan lebih dari 100 persen dan mengakibatkan kerusakan lingkungan.
”Sehingga itu merupakan bagian upaya kita melakukan
Terkait dengan divestasi 51 persen, Hatta menuturkan, pihaknya menjelaskan bahwa hal itu tidak dikenakan di hilirnya. ”51 persen itu hanya di hulu,” tuturnya.
Pihaknya juga menjelaskan, tidak semua pemegang usaha pertambangan itu wajib membangun
Terkait dengan adanya perbedaan persepsi sehubungan dengan aturan di pertambangan tersebut, Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang Yukio Edano mengatakan, kedua belah pihak sepakat akan terus melakukan dialog di berbagai tingkatan.
Forum Ekonomi Gabungan Indonesia-Jepang yang digelar di Gedung Keidanren, Tokyo, juga melibatkan Menteri Perindustrian Mohammad S Hidayat, Duta Besar Indonesia di Jepang M Lutfi, dan Duta Besar Jepang di Jakarta Yoshinori Katori. Turut hadir pula Ketua Kadin Indonesia untuk Komite Jepang Sony B Harsono dan Ketua Keidanren Hiromasa Yonekura.