Jakarta, Kompas
Menurut Deputi Perencanaan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Widhyawan Prawiraatmadja, Senin (5/11), di Jakarta, 40 persen dari hasil produksi gas dari Train 3 Tangguh yang direncanakan mulai berproduksi pada tahun 2018 akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan domestik, sedangkan 60 persen akan diekspor.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Evita H Legowo menyatakan, dalam kunjungan kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Inggris pekan lalu, beberapa hal telah disepakati terkait dengan rencana pengembangan tahap dua (POD-2) Train (unit) 3 Tangguh, antara lain alokasi dan harga gas. ”POD-2 Tangguh diharapkan ditandatangani akhir November nanti,” ujarnya.
Dari proyek itu, pemerintah berniat mengalokasikan gas dari Train 3 Tangguh itu sebanyak 24 kargo per tahun untuk pembangkit listrik PT PLN. Pemerintah juga akan mengalokasikan sebagian hasil gas, baik dari pengalihan pasokan gas dari Train 1 dan Train 2 yang semula untuk Sempra ke pembeli lain maupun dari Train 3 untuk konsumen domestik lain, yakni industri.
Terkait dengan pasokan gas Train 1 dan 2 Tangguh yang dialihkan dari Sempra, perusahaan energi asal Amerika Serikat, ke pembeli lain, Widhyawan menjelaskan, pemerintah masih menghitung kebutuhan gas untuk PLN dan konsumen domestik lain.
Pasokan gas untuk domestik itu sejalan dengan ketersediaan infrastruktur gas, misalnya pengoperasian terminal penerima gas Arun, Lhokseumawe, dan Jawa Tengah. Karena itu, kontrak penjualan gas hasil pengalihan dari Sempra itu bukan jangka menengah dan panjang.
Selain itu, menurut Evita, saat ini pemerintah merumuskan formula harga gas Tangguh yang dihasilkan Train 3 dan pengalihan pasokan gas yang semula untuk Sempra, apakah memakai formula ICP (harga rata-rata minyak mentah Indonesia) atau Japan Cocktail Crude (JCC).
”Kemungkinan formula harganya 11-13 persen dari ICP/JCC. Ini lebih rendah dari kesepakatan harga gas Tangguh antara BP dan PLN yang berkisar 11-14 persen dari ICP/JCC,” ujarnya.
Pemerintah menilai harga gas Tangguh yang disepakati antara PLN selaku pengguna gas dan BP selaku operator Kilang Tangguh terlalu tinggi untuk pasar domestik. Oleh karena itu, pemerintah kemungkinan akan menetapkan formula harga gas yang berbeda atau lebih rendah untuk konsumen gas lain, terutama untuk industri sehingga mendorong daya saing industri nasional.