Jakarta, Kompas -
Hal itu dikatakan anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN), Raden Pardede, menjawab pertanyaan wartawan dalam pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi dan wartawan di Jakarta, Minggu (9/12) malam.
”Biasanya redenominasi diterapkan pada saat negara mengalami hiperinflasi seperti yang pernah dialami Brasil, Turki, dan Zambia,” ungkap Raden.
Hal senada diungkapkan Ketua KEN Chairul Tanjung. Meskipun rancangan UU tentang redenominasi sudah diserahkan pemerintah kepada DPR, KEN menganggap yang seharusnya menjadi prioritas saat ini adalah membahas RUU tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).
”Untuk mengantisipasi krisis global, RUU JPSK bisa menjadi payung hukum agar para pembuat kebijakan tidak merasa gamang dalam mengambil tindakan dalam keadaan krisis,” kata Chairul Tanjung.
Redenominasi rupiah adalah menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Misalnya Rp 1.000 menjadi Rp 1.
Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.
Sebelumnya, pada 30 November 2012, pemerintah melalui Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyampaikan RUU Redenominasi Rupiah kepada DPR yang diterima Wakil Ketua DPR Anis Matta didampingi Ketua Badan Legislasi Ignatius Mulyono.
Pekan lalu, Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Teknologi Sohibul Iman meminta pemerintah dan Bank Indonesia tidak terburu-buru menyosialisasikan redenominasi.
”Prinsipnya, kita harus selesaikan UU-nya dulu,” tutur Sohibul.