Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Layakkah Banjir Ciliwung Diatasi oleh Terowongan Multifungsi?

Kompas.com - 09/01/2013, 09:32 WIB

Siswoko Sastrodihardjo

Akhir-akhir ini marak diberitakan, untuk mengatasi banjir di DKI Jakarta akan segera dibangun deep tunnel. Banyak orang pasti bertanya-tanya, seperti apa deep tunnel yang dimaksudkan Gubernur DKI itu dan bagaimana cara kerjanya sehingga bisa mengendalikan banjir.

Penulis menduga, yang dimaksud Gubernur DKI itu adalah deep tunnel reservoir atau terowongan multifungsi (TM) yang fungsi utamanya mengendalikan banjir.

Banjir adalah meluapnya air dari palung sungai akibat debit air yang mengalir lebih besar daripada kapasitas palung sungai. Luapan air menimbulkan genangan di dataran banjir. Sekitar 50 persen kawasan DKI tumbuh dan berkembang di dataran banjir 13 sungai, termasuk Sungai Ciliwung, sehingga genangan akibat luapan telah menimbulkan masalah sejak dahulu.

Masalah itu kian meningkat seiring laju pertumbuhan lahan di dataran banjir menjadi kawasan permukiman dan perkotaan yang pesat. Pertumbuhan itu selama ini dibiarkan dan risiko terjadinya genangan tak dipedulikan.

Upaya mengatasi banjir dan genangan yang sudah populer di seluruh dunia adalah gabungan berbagai upaya yang bersifat struktur dan nonstruktur, integrated flood management, yang bertujuan menekan besarnya masalah, kerugian, atau bencana akibat banjir, tetapi itu tak dapat mutlak menghilangkan masalah.

Berbagai upaya struktur yang telah diterapkan di DKI sejak zaman Belanda antara lain berupa kanal banjir barat dan timur, tanggul banjir, normalisasi sungai, interkoneksi, sistem drainase perkotaan, sistem polder (waduk dengan pompa), pintu air pasang, dan pintu air pengatur.

Waduk pada umumnya berada di permukaan tanah yang terbentuk dengan dibangunnya bendungan. Waduk-waduk yang relatif besar di Indonesia umumnya mempunyai fungsi multiguna. Lokasi waduk sebagai pengendali banjir harus berada di hulu daerah yang terkena banjir.

Fungsi waduk pengendali banjir adalah memperkecil atau meredam debit puncak banjir sehingga debit banjir di bagian hilir waduk menjadi lebih kecil dibandingkan sebelum ada waduk. Dengan debit banjir yang lebih kecil, luapan banjir akan berkurang pula.

Pernah diusulkan PU

Situ yang banyak terdapat di Jabodetabek merupakan waduk yang berfungsi sebagai pengendali banjir. Waduk pada sistem polder yang banyak dibangun di DKI bukan untuk meredam puncak banjir di sungai, melainkan sebagai tempat penampung air untuk meringankan pompa air.

TM yang diberitakan berbagai media massa tampaknya sama dengan yang pernah diusulkan kepada Departemen Pekerjaan Umum (Ditjen Sumber Daya Air) sekitar tujuh tahun lalu oleh beberapa teman dari luar Departemen Pekerjaan Umum. Bila asumsi ini benar, penulis telah mengenal ide itu dan telah ikut membahasnya secara rinci.

Waduk yang berupa terowongan bawah tanah itu berdiameter 12 meter dan berada 17 meter di bawah permukaan tanah, memanjang dari Kalibata (inlet) sampai Pluit (outlet) sepanjang 23 kilometer. Mengeluarkan air dari terowongan masuk ke laut harus dengan pompa. Sistem itu konon ditargetkan dapat meredam puncak banjir Sungai Ciliwung sebesar 100 meter kubik per detik sehingga debit banjir Sungai Ciliwung di hilir Kalibata berkurang 100 meter kubik per detik dan muka air banjir di hilir Kalibata akan lebih rendah sekitar 0,30 meter dibandingkan tanpa TM.

TM bersifat multiguna, antara lain pada musim kemarau atau pada saat kering dimanfaatkan untuk jalan bebas hambatan. Biaya pembangunannya Rp 17 triliun. Biaya operasional dan pemeliharaannya sudah pasti amat sangat mahal dibandingkan dengan waduk di permukaan tanah. Di samping itu, masalah sedimen dan sampah di Sungai Ciliwung memerlukan penanganan khusus agar tidak mengganggu pengoperasian TM.

Sebagai waduk pengendali banjir, di musim hujan terowongan harus diupayakan agar selalu kosong sehingga selalu siap diisi air banjir kapan pun diperlukan. Pengosongan itu dilakukan dengan pompa sehingga terdapat kemungkinan terowongan belum sempat dikosongkan (karena telah terisi air banjir) ternyata sudah datang banjir berikutnya yang kemungkinan debitnya justru lebih besar daripada debit banjir sebelumnya. Pada keadaan seperti itu, TM lumpuh dan tak berfungsi sehingga tidak terjadi peredaman puncak banjir.

Masalah itu dapat diatasi dengan menggunakan sistem prakiraan banjir yang supercanggih agar dapat meramalkan dengan tepat kapan terjadinya puncak banjir tertinggi dan seberapa besar debit puncaknya. Dengan demikian, dapat diketahui secara dini kapan terowongan harus dikosongkan menyongsong datangnya banjir besar itu. Contohnya, puncak banjir tertinggi Sungai Ciliwung pada musim hujan 1995/1996 terjadi pada 10 Februari 1996 dan musim hujan 2006/2007 terjadi pada 3-4 Februari 2007.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com