Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BBM Akar Komplikasi

Kompas.com - 15/01/2013, 03:41 WIB

jakarta, kompas - Besarnya subsidi bahan bakar minyak adalah akar komplikasi yang menyebabkan neraca transaksi berjalan tahun 2012 defisit. Tanpa solusi segera, persoalan serupa bakal terjadi lagi dan potensial mengganggu kelangsungan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2013 ini.

Besarnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi salah satu persoalan yang mencuat dalam rapat kerja antara Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintah, dan Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Senin (14/1). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi XI DPR Emir Moeis itu dihadiri Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Salsiah Alisjahbana, dan Gubernur BI Darmin Nasution.

”Di tengah optimisme prospek perekonomian tahun 2013, tantangan utama adalah bagaimana meminimalisasi risiko-risiko yang dapat meningkatkan kerentanan atas kelangsungan pertumbuhan ekonomi, terutama yang bersumber dari defisit neraca transaksi berjalan,” ujar Darmin.

Risiko yang dimaksud Darmin terutama merujuk pada konsumsi BBM yang terus meningkat, sementara produksi minyak nasional merosot. Kombinasi kedua faktor yang bertolak-belakang ini menyebabkan defisit neraca transaksi berjalan kian besar.

Meningkatnya konsumsi BBM, ujar Darmin, akan menggelembungkan beban subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Ini dapat mendorong persepsi negatif tentang kesinambungan fiskal sehingga akhirnya melemahkan rupiah.

”Kami memandang tingginya konsumsi BBM serta besarnya subsidi BBM menjadi permasalahan sentral yang harus diatasi dengan segera,” kata Darmin.

Darmin menambahkan, pengurangan konsumsi BBM atau pengurangan subsidi BBM akan menurunkan beban anggaran pemerintah. Hal itu juga melonggarkan tekanan pada neraca pembayaran secara signifikan.

Naikkan harga BBM

Agus Martowardojo menyatakan, pemerintah terus mengkaji solusi atas permasalahan BBM bersubsidi. Pendekatannya tidak saja pada sisi fiskal, tetapi juga menyangkut kondisi kemiskinan dan sosial.

”Kalau kondisi (terkait) yang lain-lain tak suportif tentu kita harus naikkan harga BBM bersubsidi. Kita pertimbangan bahwa tahun 2014 adalah tahun yang tidak sederhana karena itu adalah tahun pemilu. Belum tentu di tahun 2014 kita masih bisa melakukan penyesuaian BBM bersubsidi,” kata Agus,

Demikian pula tahun 2015 pascapemerintahan baru terpilih. Agus berpendapat, di saat baru menjabat setahun, belum tentu pemerintahan baru akan menaikkan harga BBM bersubsidi.

”Jadi hal-hal ini juga menjadi pertimbangan kami. Walaupun kami konsentrasi bahwa BBM bersubsidi tidak bisa hanya memperhitungkan finansial, tetapi juga harus mempertimbangkan faktor kemiskinan dan sosial,” kata Agus.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz dari Fraksi Partai Golkar menyatakan, pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jangan sampai meninggalkan beban kepada pemerintah yang akan datang dengan tidak menyelesaikan persoalan besarnya subsidi BBM. Tugas pemerintah sekarang justru mengurangi beban pemerintah yang akan datang.

Realisasi subsidi BBM tahun 2012 mencapai Rp 211,89 triliun atau 154,2 persen dari target. Ini terjadi terutama karena realisasi konsumsi BBM bersubsidi sebanyak 45,2 juta kiloliter (kl) atau jebol 5,2 juta kl dari pagu.

Besarnya konsumsi BBM berbanding terbalik dengan lifting minyak yang terus merosot. Dari target tahun 2012 sebanyak 930.000 barrel, realisasinya 860.600 barrel per hari. Konsekuensinya, impor minyak naik. Ini menjadi salah satu sebab neraca perdagangan defisit. Ujung-ujungnya neraca transaksi berjalan defisit pula.

Berkenaan dengan pasokan dollar AS dari ekspor, Direktur PT Bank Mutiara Tbk Ahmad Fajar mengakui, ada nasabah ekspor-impor yang memang tidak melepas dollar AS ke pasar. Namun, bank tidak bisa memaksa karena tidak ada kewajiban bagi eksportir dan importir untuk menukar dollar AS ke rupiah.

”Kami juga tidak bisa mengendalikan, siapa saja yang tidak melepas dollar AS,” ujar Fajar.

Akhir pekan lalu, Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution menyampaikan kondisi yang disebutnya ”hal di luar perkiraan”. Eksportir yang memperoleh dollar AS tidak melepasnya ke pasar dan tidak menukarnya dengan rupiah.

”Tambahan valas tidak cukup. Ini membuat tekanan pada kurs rupiah,” ujar Darmin.

Menurut Fajar, cara yang bisa dilakukan adalah dengan mewajibkan nasabah yang memperoleh hasil ekspor valas untuk mengonversikan ke simpanan di bank. Dengan demikian, bank memiliki persediaan valas dari tambahan hasil ekspor itu. (LAS/IDR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com