Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lukisan Lontar Tetap Lestari di Tenganan

Kompas.com - 16/01/2013, 18:07 WIB
Ni Luh Made Pertiwi F

Penulis

KETUT Sunartawan (21) menunduk penuh konsentrasi, tekun mengerjakan sebuah lukisan. Jemarinya menari di atas daun-daun lontar. Pria ini memang tergolong masih muda, namun ia begitu terampil melukis di daun lontar. Sebuah tradisi tua di Bali yang sudah melewati masa beratus-ratus tahun. Dulu, lontar-lontar berisi mantra-mantra suci.

Kini, hanya sedikit orang yang memiliki kemampuan untuk membuat tulisan maupun lukisan di daun lontar. Pun tak banyak yang bisa menulis dalam huruf Bali kuno dalam Bahasa Sansekerta.

Namun, tradisi ini seakan tak punah di Desa Tenganan Pegringsingan yang berada di Karangasem, Bali. Ketut Sunartawan buktinya. Ia sudah mahir membuat lukisan lontar sejak usia 12 tahun.


DESA TENGANAN 5

Ketut Sunartawan tengah mengerjakan lukisan lontar. (Foto: KOMPAS.com/Ni Luh Made Pertiwi F.)

Memang, pada akhirnya keahlian membuat lukisan lontar beralih fungsi menjadi seni kerajinan tangan untuk kebutuhan suvenir bagi para turis. Setidaknya, keahlian ini bisa memenuhi kebutuhan ekonomi penduduk setempat.

“Saya hanya lulusan SMP. Ini yang saya bisa sejak kecil,” tutur Ketut.

Lukisan yang biasa digoreskan biasanya seputar kisah-kisah perwayangan. Karya Ketut misalnya, ia melukis Pulau Bali di lontar dengan panjang sekitar setengah meter.

Lukisan itu tampak rumit, bukan hanya karena ia menggambarkan Pulau Bali dengan detail. Namun, di tepian lukisan penuh dengan gambar bunga yang begitu rumit. Berapa waktu yang ia habiskan untuk selembar lukisan daun lontar itu?

“Hampir satu tahun,” tuturnya malu-malu.

Harganya pun tak perlu ditanyakan lagi. Bisa mencapai jutaan. Sedangkan untuk selembar lukisan lontar ukuran kecil dengan gambar sederhana, berada di kisaran Rp 100.000 sampai Rp 300.000.

Pembeli pun bisa membubuhkan namanya di lukisan tersebut. Cukup tulis nama Anda di sebuah buku yang telah disediakan Ketut. Nantinya Ketut akan membubuhkan nama tersebut ke daun lontar.

Paling favorit tentu saja nama pasangan, kekasih atau suami-istri. Lukisan lontar sebenarnya sederhana saja, hanya mengandalkan daun lontar yang disambung-sambungkan dengan tali dan penutupnya dari bambu yang telah diukir.

Sementara bahan untuk melukisnya adalah semacam pengukir dengan mata pisau yang digoreskan ke lontar. Lalu agar goresan itu terlihat, goresan digosokan dengan kemiri yang telah dibakar.

Kemiri bakar yang hitam legam itu pun membuat goresan menjadi hitam. Setelah diolesi kemiri, hasil olesan kemudian dibersihkan dengan cairan dari minyak. Konon ini membuat daun menjadi lebih awet.

Daun lontar sendiri diambil dari daun lontar atau nira yang sudah tua. Daun ini lalu dijemur sampai berubah warna jadi kuning kecokelatan. Setelah itu daun direndam dan dikeringkan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com