Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tergadainya Laut

Kompas.com - 08/02/2013, 02:25 WIB

Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mengizinkan kapal ikan pukat cincin skala besar berbobot mati di atas 1.000 ton untuk menangkap ikan di perairan Indonesia, dan mengangkut hasil tangkapan ke luar negeri, menuai sejumlah reaksi keras.

Di dalam negeri, industri pengolahan ikan menjerit kekurangan bahan baku. Industri pengolahan ikan nasional tertinggal. Kendala klasik permodalan, bahan baku, infrastruktur, dan hasil tangkapan ikan yang tak menentu membuat sektor hilir sulit bangkit.

Pemerintah telah berkomitmen menguatkan usaha hulu-hilir perikanan melalui program industrialisasi perikanan. Konsepsi itu berimplikasi antara lain mewajibkan hasil tangkapan didaratkan dan dipasok ke industri olahan guna meningkatkan nilai tambah. Ini sejalan dengan Undang-Undang Perikanan yang mengatur seluruh kapal ikan Indonesia di wilayah perikanan RI untuk mendaratkan ikannya di pelabuhan Tanah Air.

Namun, terbit Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2012 tanggal 27 Desember 2012 yang memberi keistimewaan bagi kapal ikan pukat cincin berbobot mati 1.000 ton yang beroperasi tunggal lebih dari 100 mil untuk melakukan alih muatan di tengah laut dan mengangkutnya ke luar negeri.

Zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) sejauh 200 mil memang belum tergarap maksimal untuk perikanan. Indonesia belum punya kapal ikan berbobot mati 1.000 ton. Sebanyak 99 persen dari kapal ikan berbobot mati di bawah 30 ton. Sedangkan kapal berbobot mati di atas 30 ton dengan surat izin penangkapan berjumlah 4.221 unit.

Pada bentang laut lepas lebih dari 200 mil, Komisi Tuna Samudra Hindia (IOTC) mencatat hanya ada 1 kapal Indonesia berukuran di atas 1.000 ton dengan kuota tangkapan di Samudra Hindia. Namun, izin kapal itu pun terindikasi sudah habis masa berlakunya sejak tahun 2006.

Ketidakberdayaan kapal ikan Indonesia di laut sendiri membuat perairan kita kerap dijarah kapal ikan asing. Tiga tempat yang kerap dimasuki kapal asing secara ilegal adalah Laut China Selatan, Laut Arafura, dan Laut Sulawesi bagian utara.

Rasa keadilan menjadi terusik tatkala pemerintah secara terbuka mengizinkan hasil tangkapan kapal besar untuk dipasok ke luar negeri. Argumentasi Kementerian Kelautan dan Perikanan bahwa izin khusus ini adalah insentif bagi pemodal untuk bisa optimal menangkap ikan di laut lepas memunculkan kekhawatiran bahwa kebijakan itu akan salah sasaran.

Kebijakan itu bisa membuka peluang bagi pemodal kuat menjarah sumber daya ikan Indonesia bagi kepentingan asing. Janji pemerintah menempatkan pengawas di kapal dan mendatangkan aparat bea cukai dengan helikopter ke kapal 1.000 ton menimbulkan tanda tanya, seberapa efisien dan efektif langkah ini. Di sisi lain, ketentuan itu berpotensi memicu benturan dengan nelayan kecil yang juga beroperasi lebih dari 100 mil. Juga mengancam industri pengolahan karena kebutuhan bahan baku kian tak tercukupi. Visi industrialisasi perikanan luntur.

Sudah waktunya pemerintah fokus memperkuat kapal ikan dalam negeri untuk berdaya di perairan kita sampai ke laut lepas sehingga hasil tangkapan akan optimal. Di tengah menurunnya sumber daya ikan dan kekurangan bahan baku industri, pengelolaan sumber daya ikan yang bijak dan bertanggung jawab sudah keharusan. Jangan sampai kedaulatan bahari ini tergadai oleh arus pengurasan ikan yang jauh dari kemanfaatan bangsa sendiri. (BM Lukita Grahadyarini)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com