Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/03/2013, 08:18 WIB

KOMPAS.com - Bisnis komoditas, terutama komoditas pertanian impor, sangat menguntungkan. Pasar tersedia, keuntungan besar.

Dalam menjalankan bisnis juga tidak sulit. Hanya butuh sedikit pengalaman dan jaringan. Selebihnya tinggal angkat dan terima telepon. Risiko kecil, karena prinsip dagang: beli harga tinggi jual juga tinggi.

Tidak butuh keahlian macam-macam. Karena sifat bisnisnya yang mudah dan memberikan keuntungan besar, membuat banyak orang tergiur. Syaratnya hanya satu, yang penting punya akses ke para pengambil kebijakan untuk mendapatkan rekomendasi dan izin impor.

Bayangkan saja, bila suatu ketika Anda ”mendapat” rekomendasi dan izin impor buah/sayur/daging dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan sebesar 10.000 ton. Dengan untung Rp 5.000 per kilogram, total keuntungan yang didapat Rp 50 miliar.

Belum kalau selisih harga beli di luar negeri dan harga jual di pasar domestik seperti daging sapi dan bawang yang berkisar Rp 30.000-Rp 40.000 per kg, berapa ratus miliar keuntungannya yang bisa di dapat dalam tempo singkat. Hal sama juga berlaku di kementerian/lembaga lain.

Pertanyaannya, adakah makan siang gratis? Apa yang mendasari seorang pejabat (penguasa baik di kementerian/lembaga) ”membagi-bagikan uang” puluhan hingga ratusan miliar melalui rekomendasi dan pemberian izin impor?

Apakah hal ini karena kebaikan hatinya? Karena imbalan? Karena dorongan untuk memperlancar arus barang? Atau karena pertimbangan lain sehingga para pejabat itu begitu ”bermurah hati”?

Pada rezim Orde Baru, ketika kekuasaan otoriter memegang kendali sistem tata niaga komoditas pertanian, nyaris tidak ada gejolak harga. Penguasa dengan mudah dan karena kedekatan atau imbalan tertentu, memberikan izin impor kepada orang kepercayaannya. Bisa pengusaha, atau orang yang bisa menjadi pengusaha.

Hubungan yang terjalin di antara penguasa (pejabat) dengan pengusaha begitu kuatnya. Tak jarang semua kebutuhan pejabat dipenuhi oleh para pengusaha yang mendapat ”kemurahan hati” pejabat. Kebutuhan itu beraneka mulai dari uang, rumah, kendaraan, dan banyak gratifikasi lain. Lihat saja pengusaha karbitan zaman Orde Baru.

Zaman berubah. Kekuasaan otoriter beralih ke demokrasi. Partai politik menjadi penguasa. Agar menjadi penguasa, parpol harus mendapat suara besar dan mereka butuh dana. Dalam iklim politik transaksional seperti sekarang, parpol yang punya ”amunisi” banyak berpeluang besar menjadi penguasa baik di legislatif maupun eksekutif.

Apa hubungannya dengan tata niaga komoditas? Kalau keuntungan yang diberikan besar, mengapa bukan orang kepercayaan parpol atau temannya saja yang diberi kuota? Kenapa harus importir lama? Kalau tetap importir lama, lalu apa bagiannya? Bukankah demokrasi yang kita anut demokrasi transaksional? Dan, untuk melanggengkan kekuasaan, masih perlu amunisi.

Sampai pada titik ini, sangat bisa dipahami ketika pemberian berbagai kuota impor dengan keuntungan pasti yang didapat, mengundang berbagai kecurigaan. Bukan hanya kuota impor komoditas, hal sama juga berlaku untuk proyek-proyek pemerintah di kementerian/lembaga lain. Sebut proyek Hambalang, infrastruktur, pengadaan kitab suci, dan masih banyak lagi kasus lain yang sedang ditangani KPK.

Masalah lonjakan harga komoditas daging sapi, sayur, kedelai, bawang, dan cabai, bukan semata terjadi akibat pasar yang tak sempurna ulah dari para kartel. Tetapi juga karena naluri kekuasaan dan para pemburu rente.

Memutus rantai korupsi perizinan komoditas dan proyek, tidak bisa sekadar memenjarakan pelakunya. Tetapi butuh masyarakat yang cerdas dan perbaikan sistem demokrasi. Tanpa itu berbagai pelaku dan praktik korupsi sekadar berganti kostum, topeng, dan modus.

Inilah realitas ekonomi komoditas di tengah pusaran politik dan demokrasi transaksional. Urusan dijebloskan ke dalam penjara itu soal nasib dan giliran siapa. (HERMAS E PRABOWO)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com