TOKYO, MINGGU -
Saat Suu Kyi mengunjungi Jepang, Presiden Myanmar Thein Sein dalam pidatonya melalui radio pemerintah di Naypyidaw menyerukan persatuan di antara berbagai etnis yang ada di negeri itu. Thein Sein memperingatkan warganya agar belajar dari sejarah negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Dalam pidato memperingati tahun baru tradisional Myanmar, Thein Sein menyebut banyak negara di kawasan itu tercabik-cabik akibat kekerasan dan instabilitas.
Jika hal serupa tak diinginkan terjadi di Myanmar, rakyat Myanmar harus mampu mengatasi berbagai tantangan yang muncul sebagai dampak dari proses demokratisasi.
Sepanjang proses reformasi dua tahun terakhir, Myanmar kerap diguncang isu kekerasan, seperti pemberontakan etnis minoritas Kachin dan kerusuhan sektarian dan berlatar belakang agama antara warga penganut Buddha dan minoritas Muslim.
Dalam lawatannya selama enam hari di Jepang, Suu Kyi dijadwalkan bertemu dengan sekitar 10.000 warga Myanmar yang tinggal di Jepang. Pemimpin oposisi Myanmar itu juga akan menemui Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan Menteri Luar Negeri Fumio Kishida.
Kunjungan Suu Kyi bertujuan untuk meminta perusahaan Jepang agar segera menanamkan modal di Myanmar. Investasi akan membantu terciptanya lapangan kerja yang sangat dibutuhkan rakyat Myanmar.
Ayah Suu Kyi, mendiang Jenderal Aung San, pernah bekerja sama dengan Jepang untuk memerdekakan negerinya dari penjajahan Inggris. Pada tahun 1940, Aung San tinggal selama beberapa bulan di Jepang untuk menggalang bantuan dana, persenjataan, dan dukungan pasukan.
Dua tahun kemudian Aung San mendirikan pemerintahan yang didukung militer Jepang. Namun, pada tahun 1945 dia berbalik meminta bantuan ke Inggris agar bebas dari penjajahan Jepang.
Namun, kunjungan Suu Kyi kali ini juga memicu kekecewaan warga minoritas Rohingya di Jepang, yang jumlahnya mencapai 200 orang. Mereka diberi tahu kalau tak diinginkan ikut hadir saat Suu Kyi menemui warga Myanmar di sana.
Sikap Suu Kyi sebagai pemimpin oposisi terkait isu kerusuhan berdarah sektarian di Myanmar selama ini kerap memicu kecaman dan kekecewaan, terutama dari kalangan aktivis dan pejuang hak asasi manusia.(AFP/AP/REUTERS/dwa)