BANGKOK, SENIN -
Laporan itu mengacu pada dua kali kerusuhan sektarian berdarah yang mengguncang Negara Bagian Rakhine, Myanmar, tahun lalu. ”Pemerintah Myanmar ikut terlibat dalam upaya penghapusan etnis. Hal itu bahkan masih terus mereka lakukan sampai sekarang,” ujar Direktur Asia HRW Phil Robertson, Senin (22/4).
Menurut Phil, Myanmar juga dituduh melakukan sejumlah praktik kejahatan kemanusiaan, termasuk pembunuhan, penganiayaan, upaya deportasi, dan pemindahan secara paksa.
Dalam laporannya itu, HRW bahkan melengkapi dengan data lokasi kuburan massal, yang mereka sebut sebagai salah satu bentuk upaya aparat menutup-nutupi keterlibatan mereka.
Laporan HRW itu dikeluarkan bersamaan dengan rencana pencabutan seluruh sanksi, kecuali terkait persenjataan, yang pernah dijatuhkan Uni Eropa (UE). Phil sangat menyayangkan jika UE mengambil keputusan itu.
Jika tetap dilakukan, hal itu dikhawatirkan justru malah akan berdampak mengikis pengaruh UE atas Myanmar sekaligus merusak upaya reformasi.
Juru bicara kepresidenan Myanmar, Ye Htut, membantah semua tuduhan HRW. Dia bahkan balik menuduh HRW sengaja mengepaskan rilis laporannya itu dengan waktu UE membuat keputusan. ”Pemerintah tak akan memedulikan laporan sepihak semacam itu. Pihak berwenang akan menunggu laporan temuan komisi pemerintah yang telah dibentuk untuk menyelidiki masalah itu,” tulis Ye dalam akun Facebooknya.
Dalam laporannya, HRW mengutip data pemerintah yang menyebutkan 211 orang tewas dalam dua kali kerusuhan di Rakhine, tahun lalu. Jumlah itu diyakini jauh lebih kecil dari yang sebenarnya terjadi.
Sementara itu, BBC menayangkan rekaman video kerusuhan Maret lalu di Meikhtila, Myanmar Tengah, yang secara resmi tercatat memakan korban hingga 43 orang.
Dalam tayangan itu tampak aparat keamanan hanya diam saat melihat warga merusak dan membakar rumah, bahkan membunuh sejumlah korban yang diyakini warga Muslim.
Sepasang suami-istri dan pegawai toko emas, yang diketahui menjadi pemicu awal kerusuhan berdarah, ditangkap dan dipenjara 14 tahun.