Demikian hasil rapat Dewan Gubernur BI, di Jakarta, Selasa (14/5). ”Bank Indonesia akan melanjutkan penguatan operasi moneter melalui penyerapan likuiditas yang lebih besar ke tenor yang lebih jangka panjang,” ungkap Kepala Biro Hubungan Masyarakat BI Difi Ahmad Johansyah, melalui siaran pers.
Penguatan operasi moneter itu untuk mendukung kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai tingkat fundamental. BI juga akan memperdalam pasar keuangan, antara lain melalui publikasi kurs referensi spot rupiah terhadap dollar AS di pasar domestik.
”Tidak ada instrumen baru untuk penyerapan likuiditas yang lebih besar ke tenor yang lebih panjang itu. Tetap menggunakan instrumen yang ada, seperti term deposit, surat utang negara, dan reverse repo,” kata Difi.
Data BI menunjukkan, nilai tukar rupiah terdepresiasi moderat pada April 2013 dengan intensitas tekanan yang menurun sejalan dengan meningkatnya aliran modal masuk kembali. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS secara point to point melemah 0,05 persen, mencapai level
Permintaan valuta asing yang meningkat dapat diimbangi dengan meningkatnya pasokan valas nonresiden. Hal ini didukung persepsi positif terhadap ekonomi Indonesia pasca-penerbitan global bond (surat utang global) Pemerintah Indonesia sebesar 3 miliar dollar AS.
Meski demikian, BI dengan eksplisit dalam siaran pers menyebutkan, konsumsi rumah tangga melambat sejalan dengan menurunnya daya beli akibat inflasi yang meningkat, terutama akibat kenaikan harga bahan makanan.
”Dan, meningkatnya ekspektasi inflasi terkait ketidakpastian kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM),” demikian hasil RDG. Pemerintah sejauh ini
BI juga menyiapkan respons menyikapi kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi jika jadi diterapkan. ”Langkah-langkah sudah siap,” kata Difi yang menolak menyebutkan langkah tersebut.
Langkah BI mempertahankan BI Rate sudah dapat diduga. Eric Sugandi, ekonom Standard Chartered Indonesia, bahkan memperkirakan, BI Rate akan bertahan 5,75 persen hingga akhir tahun ini.
”Meski ada kemungkinan BI Rate naik jika kebijakan kenaikan harga BBM jadi diberlakukan,” kata Eric.
Jika premium bersubsidi naik dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 per liter dan solar bersubsidi naik dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 5.500 per liter, inflasi pada akhir tahun ini bisa mencapai 7,5-8 persen.
”Jika hal itu terjadi, BI Rate bisa naik 50 basis poin pada akhir tahun,” kata Eric menjelaskan prediksinya.
Akan tetapi, menurut Eric, BI memiliki celah untuk menaikkan fasilitas simpanan BI (Fasbi) yang saat ini besarnya 4 persen. Kenaikan Fasbi ini bisa untuk mengantisipasi ekspektasi inflasi akibat rencana kebijakan BBM bersubsidi.
”Suku bunga Fasbi lebih riil karena berhubungan dengan pasar uang, suku bunga pinjaman, dan suku bunga deposito,” kata Eric.
Diperkirakan, Fasbi akan naik 25 basis poin pada triwulan III dan 25 basis poin lagi pada triwulan IV tahun ini. Fasbi adalah besaran imbal hasil untuk simpanan semalam dari bank umum di BI.
Jika pemerintah berniat menerbitkan kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi, Eric menyarankan selambat-lambatnya Juni tahun ini. Alasannya, inflasi masih terjaga, sebelum akhirnya naik pada akhir tahun.
Analis ekonomi Citi, Helmi Arman, menyampaikan, kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar 33 persen akan meningkatkan inflasi hingga 8,2 persen. Dengan demikian, BI diprediksi menaikkan Fasbi sebesar 75 basis poin.(IDR)