Secara umum, zona euro terkontraksi 0,2 persen pada periode Januari-Maret dibandingkan dengan tiga bulan sebelumnya. Resesi didefinisikan sebagai pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal beruntun.
Walaupun kontraksi itu lebih rendah dibandingkan dengan kontraksi kuartal sebelumnya yang sebesar 0,6 persen, data tersebut merupakan pertanda kawasan itu masih harus bekerja keras mengatasi krisis. Kebijakan pemangkasan anggaran yang dimaksudkan untuk melawan krisis serta upaya meningkatkan pajak membuat perekonomian semakin sulit dan menimbulkan keresahan sosial.
Belakangan, wacana mengubah kebijakan yang mendahulukan pertumbuhan ketimbang penurunan defisit anggaran mengemuka semakin kencang.
Meski resesi ini tidak sedalam resesi 2008-2009, itu merupakan resesi terpanjang dalam sejarah euro.
”Zona euro menghadapi dua tekanan dari perlunya melakukan restrukturisasi perekonomian domestik dan memperbaiki pertumbuhan perdagangan,” ujar Marie Diron, ekonom senior pada Ernst & Young.
Diperkirakan tahun ini zona euro akan terkontraksi sebesar 0,9 persen. Sementara Amerika Serikat (AS) diperkirakan bertumbuh sebesar 2,5 persen.
Resesi yang panjang di zona euro ini juga merupakan kabar buruk bagi 27 negara anggota Uni Eropa, termasuk negara yang bukan merupakan pengguna euro, seperti Inggris dan Polandia.
Dengan penduduk lebih dari 500 juta orang, Uni Eropa merupakan pasar ekspor terbesar dunia. Jika kawasan ini tetap mengalami kesulitan, order ke perusahaan AS dan Asia akan berkurang.
Bulan lalu, produsen mobil AS, Ford, membukukan kerugian sebesar 462 juta dollar AS di Eropa. Menurut Ford, prospek Eropa masih tidak menentu.