Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembeli Kredit Bersaing dengan Tunai

Kompas.com - 17/05/2013, 10:19 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Harga rumah dan apartemen yang melangit tidak menghalangi pembelian rumah kelas menengah-atas secara tunai atau tunai bertahap. Pada kelompok ini, bank justru bersaing dengan pembeli tunai.

Data yang dikeluarkan oleh konsultan properti Cushman & Wakefield menyebutkan, pada semester II tahun lalu, sebanyak 27 persen pembeli membayar dengan tunai keras dan sebanyak 22 persen membayar dengan tunai bertahap. Sisanya, sebanyak 51 persen, membayar dengan kredit.

Direktur Konsumer dan Ritel Banking PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Darmadi Sutanto mengungkapkan, pembelian tunai dan tunai bertahap untuk rumah kelas menengah atas meningkat. Akibatnya, kredit pemilikan rumah untuk kelompok ini turun.

"Kami punya strategi, meminta tunai bertahap dipindah ke bank," kata Darmadi, menyiasati tingginya pembelian rumah secara tunai.

Pembelian tunai bertahap, artinya pembeli membayar dalam satu tempo tertentu, misalnya 12 bulan. Dengan demikian, tidak menggunakan kredit bank.

BNI menyasar kredit pemilikan rumah (KPR) dengan jumlah pinjaman sekitar Rp 374 juta per unit. Kendati yakin belum ada potensi gelembung (bubble) pada KPR, BNI ketat menerapkan aturan uang muka minimal sebesar 30 persen dari harga rumah.

Sekretaris Perusahaan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Muhamad Ali mengemukakan, sejauh ini belum ada pengaruh pembelian secara tunai dan tunai bertahap bagi KPR BRI. Menurut Ali, BRI masih akan mengembangkan KPR dengan nilai pinjaman Rp 300 juta-Rp 500 juta per unit.

Bank Indonesia, pada Juni 2012 lalu, menerbitkan aturan mengenai loan to value (LtV) atau jumlah pinjaman maksimal yang diberikan untuk nasabah KPR dengan luas rumah di atas 70 meter persegi. Aturan yang disusul untuk pembiayaan rumah bank syariah pada April 2013 itu, antara lain, mengatur LtV sebesar 70 persen dari harga rumah. Artinya, untuk membeli rumah, konsumen harus menyiapkan uang muka minimal 30 persen dari harga rumah. Akan tetapi, faktanya, untuk rumah dengan luas lebih dari 70 meter persegi, yang umumnya harganya tinggi, banyak pembeli membayar secara tunai.

Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Agusman, dalam jawaban tertulis atas pertanyaan Kompas, menyebutkan, wajar tidaknya harga properti ditentukan oleh mekanisme permintaan dan suplai. Dengan demikian, sepanjang harga properti yang ditawarkan masih terjangkau oleh konsumen di kelasnya dan properti yang dibeli digunakan sesuai dengan peruntukan, dapat dikatakan harga properti masih wajar (Baca: Pertumbuhan Kredit Properti Masih Dianggap Wajar). Namun, apabila harga properti sudah di luar jangkauan konsumen dan pembelinya adalah pihak yang mengharapkan kenaikan investasi, dapat dikatakan harganya sudah di atas nilai wajar. (IDR/MAR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com