Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan BBM Dibikin "Ribet" dan Berbelit

Kompas.com - 18/05/2013, 12:23 WIB
Ambrosius Harto Manumoyoso

Penulis

BEKASI, KOMPAS.com — Pemerintah diharapkan berani dan benar-benar membenahi angkutan umum. Ketersediaan angkutan umum yang andal, nyaman, aman, dan bertarif terjangkau tetap dipercaya sebagai solusi kemacetan, kecelakaan, dan kejahatan.  

Demikian diutarakan oleh pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, kepada Kompas, Sabtu (18/5/2013). Melalui sejumlah pesan singkat dan wawancara, Djoko membeberkan data sekaligus analisis mengapa angkutan umum harus dibenahi dan menjadi jawaban atas kekacauan transportasi saat ini.  

Pertumbuhan kendaraan kurun 1987-2012 terlampau pesat. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan, 7.791.480 kendaraan pada 1987.

Jumlah itu meningkat menjadi 8.291.838 kendaraan pada 1989. Penambahan jumlah kendaraan 250.179 unit per tahun.

Bandingkan dengan kondisi terkini. Data dari Korps Lalu Lintas Polri, 84.193.057 kendaraan pada 2011 kemudian meningkat jadi 94.229.299 kendaraan pada 2012.

Dalam setahun, jumlah kendaraan naik 10.036.242 unit. Pertumbuhan kendaraan 25 tahun terakhir yang gila-gilaan secara alami meningkatkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM).

Di satu sisi, pemerintah masih menerapkan subsidi BBM demi menekan harganya agar terjangkau masyarakat.

Padahal, subsidi BBM jelas memakan cukup banyak alokasi APBN. Di sisi lain, APBN adalah nyawa pembangunan pemerintah.  

Akhirnya, pemerintah pun menerapkan kebijakan pembatasan BBM dengan menerapkan pengurangan subsidi dan menaikkan harga BBM.

Menurut Djoko, kebijakan itu sebenarnya sederhana, tetapi dibikin ribet dan berbelit-belit. Diduga, ada kepentingan politik dan intrik.

Keputusan menaikkan harga BBM pun disambut "meriah" oleh masyarakat. Ada yang demonstrasi, harga barang dan tarif pelbagai jasa pun terkerek naik.

Program bantuan langsung tunai atau pemberian uang kepada masyarakat yang dikategorikan miskin banyak celah penyelewengan dan tidak efektif sebab jumlahnya tidak berimbang dengan kenaikan pelbagai harga.  

"Biaya subsidi itu sebenarnya bisa untuk membenahi angkutan umum hingga aksesnya sampai kawasan permukiman," kata Djoko.

Ia berkeyakinan, jika ada pelayanan transportasi umum yang manusiawi, aman, nyaman, dan bertarif terjangkau, masyarakat tidak perlu dipaksa untuk tidak membeli kendaraan pribadi dan memakai BBM.

Masyarakat akan berhitung dan menemukan jawaban bahwa lebih murah, efektif, dan efisien memakai angkutan umum sehingga secara sadar akan melepas ketergantungan terhadap kendaraan pribadi walaupun ada godaan pelbagai insentif menarik dari produsen otomotif.  

Djoko memaparkan, 99 persen perjalanan orang Indonesia berasal dari rumah atau hunian. Jika transportasi umum tidak menjangkau sampai "depan rumah", fungsinya akan selalu kalah dibandingkan dengan kendaraan pribadi.

Kondisi ini diduga salah satunya akibat keengganan pembangun perumahan menyediakan akses dan prasarana bagi angkutan umum.  

Dari sinilah tampaknya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman perlu direvisi.

Aturan itu hanya mewajibkan pembangun hunian menyediakan jalan, sanitasi, instalasi air minum, saluran air, listrik, kawasan hijau, dan tempat ibadah.

Penyediaan angkutan umum perlu dilakukan sehingga penghuni tidak terdorong memakai kendaraan pribadi untuk sekadar bepergian ke tempat dekat.  

Saat ini, angkutan umum yang beroperasi hanya 40 persen dari kekuatan yang ada. Itu pun 90 persen unit yang beroperasi sudah berusia di atas 10 tahun.

Pengusaha angkutan umum terbebani banyak hal, seperti pungutan liar, kewajiban KIR, dan bunga pembelian untuk peremajaan yang tinggi.

Di sisi lain, kepemilikan kendaraan pribadi dipermudah dengan pencicilan, uang muka, dan bunga rendah.  

Khusus untuk sepeda motor, Djoko menyoroti ada kebijakan pemerintah yang keliru terhadap industri otomotif.

Pemerintah mengizinkan industri membuat sepeda motor dengan isi silinder (cc) di atas 100 cc. Laju kendaraan ini bisa lebih dari 100 kilometer per jam.

Sepeda motor bukan kendaraan berkeselamatan. Sebanyak 77.722.658 unit atau 84,5 persen dari 94.229.299 unit kendaraan pada 2012 adalah sepeda motor.  

Dampaknya sepeda motor terlibat dalam 72 persen kecelakaan lalu lintas, 60 persen pelanggaran lalu lintas, menghabiskan 40 persen BBM bersubsidi, dan 70 orang tewas di jalan per hari.

Selain itu, muncul kecenderungan membentuk komunitas sepeda motor yang beberapa di antaranya gemar mengadakan balapan ilegal, bahkan terlibat kejahatan keji dan bengis.

"Program safety riding tidak cukup mampu untuk menekan itu semua," kata Djoko. Dari pelbagai kondisi tadi, doronglah angkutan umum sebagai penyedia transportasi andal masyarakat.

Pemerintah perlu melibatkan semua pihak untuk menyelamatkan angkutan umum. Berpihaklah pada pengembangan angkutan umum.

Pilih dan kembangkan operator yang andal dan jujur untuk mengelola angkutan umum baik yang berbasis rel seperti kereta api, KRL, MRT, atau monorel atau yang berbasis jalan seperti bus, bus rapid transit, antara lain, transjakarta, trem, angkutan kota, bahkan angkutan tradisional.

"Sinergikan dalam sistem yang terintegrasi, efektif, dan efisien," kata Djoko.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com