Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dalang Spekulasi Rupiah Melemah

Kompas.com - 13/06/2013, 09:45 WIB

KOMPAS.com -  Sangat keliru apabila pemerintah menuding ada pihak-pihak berspekulasi yang menyebabkan nilai tukar rupiah terus melemah belakangan ini. Nilai tukar rupiah sempat menembus batas psikologis Rp 10.000 per dollar AS awal pekan ini. Intervensi pasar oleh Bank Indonesia membuat nilai rupiah kembali menguat pada level Rp 9.830-Rp 9.880 per dollar AS.

Alhasil, cadangan devisa Indonesia terus merosot. Data Bank Indonesia (BI), dalam sebulan cadangan devisa berkurang 2,12 miliar dollar AS. Merosot dari 107,269 miliar dollar AS pada 30 April 2013 menjadi 105,149 miliar dollar AS pada 31 Mei 2013. Padahal, cadangan devisa yang besar memperlihatkan kemampuan negara ini dalam mengimpor dan membayar utang luar negerinya.

Jadi cukup serius kondisi negeri ini jika cadangan devisa terus dipakai untuk intervensi pasar buat menjaga nilai rupiah jangan sampai menembus batas Rp 10.000 per dollar AS. Artinya, aksi spekulasi yang menyebabkan nilai rupiah ini melemah akan sangat membahayakan ketahanan ekonomi Indonesia terutama dalam kemampuan membayar kewajiban utang luar negeri dan mengimpor.

Tetapi sebenarnya siapa dalang dibalik aksi spekulasi yang menyebabkan rupiah melemah? Kalau mau disimak dari kenyataan di pasar, dan apa yang sudah dilontarkan pengamat dan kalangan lembaga pemeringkat internasional beberapa bulan lalu, jelas bahwa dalang dari semua aksi spekulasi ini adalah pemerintah sendiri. Sikap ragu-ragu dalam memutuskan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi membuat pelaku pasar terpaksa berspekulasi.

Lembaga pemeringkat Standard & Poor’s merevisi proyeksi ekonomi Indonesia dari positif ke stabil, berkaitan dengan kebijakan subsidi yang dianut pemerintah. Kebijakan ini menyangkut kebijakan subsidi BBM yang mencapai Rp 300 triliun. Indonesia menyia-nyiakan momentum reformasi ekonomi.

Jadi pemerintah sudah diingatkan untuk segera merevisi kebijakan subsidi terutama subsidi BBM yang sudah tak masuk akal. Kebijakan yang membuat posisi keuangan pemerintah rentan. Kebutuhan anggaran untuk mengimpor bahan baku minyak dan produk minyak sangat memberatkan. Harga BBM yang murah membuat konsumsi BBM tidak terkendali. Dan kebutuhan bahan baku minyak mentah dan produk minyak yang sebagian besar dari impor membuat kebutuhan dollar AS membengkak.

Kemarin sejumlah pejabat pemerintah mengakui, melemahnya nilai rupiah disebabkan masyarakat masih menunggu kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Situasi global seperti kebijakan Pemerintah AS kembali memperketat kebijakan melonggarkan likuiditas dollar AS memang ikut berpengaruh, tetapi sikap tidak pasti pemerintah dalam kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi menjadi faktor utama.

Menjadi jelas bahwa sikap pemerintah yang belum juga menaikkan harga BBM bersubsidi menjadi pemicu melemahnya nilai dollar AS. Jelas pemerintah merupakan dalang dibalik berbagai aksi spekulasi yang muncul di masyarakat. Dan uniknya, pemerintah menyadari buruknya sikap ini, tetapi tidak pernah ada langkah yang jelas dan pasti. Sampai kemarin, pemerintah masih pada tataran mengimbau parlemen atau partai dalam koalisi untuk mendukung kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi.

Jadi keliru jika pemerintah menuding ada pihak-pihak yang berspekulasi yang menyebabkan nilai rupiah melemah. Banyak pihak jauh-jauh hari sudah mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan subsidi termasuk subsidi BBM itu tidak menyehatkan. Dalang yang keliru berlakon. (Pieter P Gero)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com