Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harga BBM dan Efisiensi Energi

Kompas.com - 18/06/2013, 09:16 WIB

Oleh Kurtubi

Untuk mengurangi besaran subsidi BBM, dalam beberapa tahun terakhir sejumlah pihak menyarankan agar pemerintah menaikkan harga BBM daripada terus melontarkan berbagai skenario pembatasan pemakaian BBM.

Pembatasan atau penjatahan pemakaian BBM, di samping implementasi di lapangan rumit, akan mengurangi atau membatasi gerak kegiatan ekonomi rakyat. Namun, yang kita saksikan adalah pemerintah terkesan enggan dan ragu-ragu menaikkan harga BBM.

Kewenangan menaikkan harga BBM sepenuhnya di tangan pemerintah dan ada momen yang dinilai tepat: inflasi sangat rendah, bahkan terjadi deflasi. Ternyata momen-momen tersebut berlalu begitu saja. Pemerintah enggan menaikkan harga BBM dengan alasan bahwa menaikkan harga BBM adalah upaya terakhir. Pada titik ini kita hargai alasan tersebut.

Kini, menjelang Pemilu 2014, yang tahapannya kini pada titik KPU akan mengumumkan daftar calon tetap dari setiap parpol peserta, pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM sebelum langkah lain menyehatkan fiskal dilakukan. Bahkan, kini pemerintah akan menaikkan harga BBM disertai dengan berbagai paket program kompensasi yang nilainya sekitar Rp 30 triliun dan harus mendapat persetujuan DPR melalui APBN-P 2013.

Tak ayal lagi, kenaikan harga BBM yang disertai dengan paket kompensasi secara masif menjelang pemilu ini dicurigai merupakan agenda terselubung pemerintah yang sangat beraroma politis guna menarik simpati sekitar 65 juta rakyat miskin. Seandainya tak ada agenda terselubung itu, kenaikan harga BBM mungkin tak diulur-ulur hingga mendekati pemilu. Kenaikan harga BBM mestinya dilakukan pada 2011, atau 2012, atau bahkan pada triwulan I/2013 saat inflasi relatif rendah dan tak harus disertai dengan program bantuan langsung sementara masyarakat.

Kalau pemerintah jujur tulus menolong rakyat miskin, tanpa ada agenda terselubung dengan memanfaatkan mereka untuk tujuan politik, langkah yang seyogianya ditempuh guna mengurangi besaran subsidi BBM yang terus membengkak adalah dengan kebijakan yang tak membikin rakyat tambah sengsara.

Menaikkan harga BBM, yang akan mendorong inflasi ke tingkat 7,7 persen, menjelang bulan puasa pasti akan sangat membebani rakyat, kaum buruh, dan kalangan dunia usaha. Kalangan dunia usaha akan menghadapi tingkat suku bunga yang akan naik di samping tuntutan kenaikan upah buruh. Karena kaum buruh yang bersusah payah berhasil menuntut kenaikan upah, dengan kenaikan harga BBM ini, dipastikan daya belinya akan menurun dan kesejahteraannya kembali ke tingkat sebelum kenaikan upah minimum regional.

Sebenarnya pengurangan subsidi BBM secara signifikan bisa dilakukan dengan mempercepat program konversi BBM ke bahan bakar gas. Kebijakan konversi ke BBG adalah kebijakan diversifikasi yang sudah bertahun-tahun dicanangkan dalam rangka mengurangi pemakaian BBM. Langkah ini sangat strategis karena, selain dapat mengurangi beban subsidi BBM tanpa menyengsarakan rakyat sebagai akibat menaikkan harga BBM, dapat mengurangi ketergantungan pada minyak mentah dan BBM impor.

Tujuan mengurangi impor ini sangatlah penting sebab saat ini Indonesia sudah defisit perdagangan migas yang sangat besar. Penyebabnya: pemerintah salah urus kekayaan migas nasional dengan mempertahankan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas meski terbukti melanggar konstitusi karena sejak tahun 2004 sudah 17 pasal dari UU ini dicabut MK, selain sudah terbukti merugikan negara secara finansial.

Bahkan, menurut survei Fraser Institute Canada (2012), UU Migas ini telah menyebabkan tata kelola migas di Indonesia menjadi paling buruk di Asia Oceania, lebih buruk dari semua negara tetangga. Investasi eksplorasi anjlok yang diikuti oleh produksi minyak yang terus turun karena tak ada penemuan lapangan atau cadangan baru.

Selain itu, UU Migas telah memindahkan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan BBM rakyat: dari Pertamina ke pemerintah. Pertamina diposisikan hanya sebagai salah satu operator yang ditunjuk pemerintah (lewat BPH Migas) untuk memenuhi kebutuhan BBM nasional. Akibatnya, Pertamina yang berstatus PT (Persero) dan oleh UU diwajibkan cari untung sebesar-besarnya jadi enggan membangun kilang (investasi di kilang BBM marginnya relatif sangat kecil, jauh di bawah margin usaha hulu).

Padahal, sebelum UU Migas, Pertamina berencana membangun banyak kilang BBM: tak hanya untuk kebutuhan dalam negeri, tetapi juga bertujuan ekspor. Akibatnya, sejak UU Migas, tak ada tambahan kapasitas kilang BBM. Padahal, konsumsi BBM terus meningkat, berdampak pada meningkatnya impor BBM nasional yang berujung pada defisit migas yang terus membengkak dan nilai rupiah yang terus melemah.

Langkah fiskal dan efisiensi

Di dalam jangka pendek, penyehatan fiskal dapat dilakukan dengan mengefisienkan pengeluaran dan mendorong potensi penerimaan APBN. Di bidang migas, upaya negosiasi penjualan gas Tangguh dengan harga sangat murah kepada Fujian supaya dipercepat. Tujuan negosiasi agar formula harga jual mengikuti pola harga jual LNG Badak ke Jepang. Bila perlu, hentikan pengapalan dan persiapkan ahli hukum menghadapi kemungkinan China membawa kasus ini ke Arbitrase Internasional.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com