JAKARTA, KOMPAS.com -
Nasabah atau calon nasabah kredit perbankan harus bersiap-siap menanggung suku bunga yang lebih tinggi. Sejumlah bank sudah menaikkan suku bunga pinjaman yang akan membuat beban cicilan bertambah. Alasannya, mengantisipasi kondisi ekonomi mendatang.

Kondisi ekonomi yang dimaksud antara lain tekanan inflasi yang meningkat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Suku bunga acuan (BI Rate) dan suku bunga penjaminan juga diprediksi masih akan naik dalam tahun ini. Per Juni 2013, BI Rate sebesar 6 persen dan inflasi tahunan 5,9 persen.

Pantauan Kompas, Rabu (10/7/2013), kenaikan suku bunga dasar kredit (SBDK) umumnya terjadi pada kredit korporasi dan ritel. SBDK memperhitungkan unsur biaya dana, biaya operasional, dan marjin.

Namun, SBDK belum mencakup faktor risiko yang berbeda-beda untuk setiap nasabah. Dengan demikian, suku bunga kredit yang ditanggung nasabah akan lebih besar dari SBDK.

PT Bank Danamon Indonesia Tbk per 30 Juni 2013 menaikkan suku bunga kredit korporasi dan ritel masing-masing 25 basis points (bps) menjadi 10,25 persen dan 1 1,25 persen. PT Bank OCBC NISP Tbk per 1 Juli 2013 menaikkan suku bunga kredit korporasi sebesar 15 bps menjadi 9,75 persen dan suku bunga kredit ritel sebesar 15 bps menjadi 10,75 persen.

Adapun PT Bank Mayapada International Tbk menaikkan suku bunga kredit korporasi, kredit pemilikan rumah (KPR), dan kredit konsumsi non-KPR. Kenaikan berkisar 20-26 bps.

Direktur Bank Danamon Vera Eve Lim yang dikonfirmasi menjelaskan, kenaikan suku bunga pinjaman itu sejalan dengan kenaikan biaya dana.

Presiden Direktur Bank OCBC NISP Parwati Surjaudaja menjelaskan, dalam dua bulan terakhir kenaikan total SBDK korporasi dan ritel 25 bps. ”Dengan kenaikan itu pun masih menempatkan kami pada bank-bank yang relatif rendah SBDK-nya,” kata Parwati.

Direktur Utama Bank Mayapada Haryono Tjahjarijadi memprediksi, BI Rate dan suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) masih akan naik lagi. ”Jadi, kenaikan suku bunga kredit ini untuk antisipasi,” kata Haryono.

Kredit macet

Meski suku bunga kredit naik, baik Parwati maupun Haryono, optimistis tidak akan meningkatkan risiko kredit macet (NPL). ”Pemberian kredit didasarkan kelayakan usaha dan asas kehati-hatian,” kata Haryono.

Namun, pinjaman yang diberikan tetap harus dimonitor dengan baik. NPL gross per April 2013 sebesar 1,96 persen.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah secara terpisah mengakui ada bank yang merevisi rencana bisnis bank (RBB) akibat berbagai hal.

”Bisa karena faktor inflasi yang sudah diikuti kenaikan suku bunga. Ada yang melihat penurunan kredit. Ada juga yang kreditnya tetap kencang. Jadi, setiap bank berbeda-beda,” kata Halim.

Ia mencontohkan, ada bank yang sejak awal cenderung ke arah konsumer saat ini belum terasa penurunan kreditnya. Namun, bank yang memberikan kredit kepada industri terkait ekspor sudah merasakan penurunan kredit.

Sebelumnya Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas) Sigit Pramono memperkirakan bank akan menaikkan suku bunga kredit yang saat ini cenderung murah, yakni 25-50 bps. Kredit yang dimaksud adalah korporasi, KPR, dan kredit kendaraan bermotor. (IDR)