Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

”Industri” Takjil Memutar Ekonomi Rakyat

Kompas.com - 15/07/2013, 07:28 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Bulan Ramadhan selalu memberi berkah bagi para penjual takjil, hidangan berbuka puasa. Berkah dari makanan itu tidak dapat dianggap remeh karena perputaran uang dari makanan skala ”ringan” ini bisa mencapai miliaran rupiah.Delapan pekerja terlihat sibuk mengemas cendol dan santan ke dalam bungkusan plastik di rumah produksi Cendol de Keraton di Bogor Timur, Kota Bogor, Minggu (14/7/2013).

Mereka bergegas menyelesaikan produksi kedua untuk memenuhi permintaan cendol di gerai-gerai mereka di Jabodetabek dan Bandung yang bakal ramai menjelang waktu berbuka puasa.

Dari rumah produksi itu, bahan-bahan cendol dikirim ke 54 gerai Cendol de Keraton di Jabodetabek dan Bandung. Enam gerai yang sama di Kota Semarang, Jawa Tengah, dipasok dari rumah produksi di Semarang. Semua bahan jadi itu ditakar dalam bentuk satuan untuk memudahkan penyajian, sekaligus untuk menjaga standardisasi takaran cendol.

”Biasanya, pagi mulai produksi pukul 05.00, tetapi bulan puasa mundur jadi 06.30 karena penjaga gerai juga buka lebih siang supaya tutup lebih malam. Menjelang sore mulai banyak yang belanja,” ujar Waryono (47), petugas bagian produksi.

Menurut Lao Moi (54), pemilik Cendol de Keraton, pada hari biasa pegawainya bisa memproduksi 1.000 gelas cendol untuk gerai-gerai di Jabodetabek dan Bandung. Harga setiap satu gelas cendol Rp 9.000-Rp 14.000, bergantung dari pilihan rasa, seperti nangka, durian, atau jahe.

Pada pekan pertama Ramadhan, permintaan cendol relatif stabil. Hanya terjadi pergeseran waktu pembelian yang awalnya rata dari pagi hingga sore kini sedikit pada pagi dan siang hari, tetapi menjadi melonjak memasuki pukul 15.00. Sebagian besar membeli untuk dibawa pulang sebagai takjil berbuka puasa.

”Begitu mulai masuk minggu kedua (Ramadhan), permintaan bisa naik 20-30 persen dari hari biasa karena banyak pesanan dari kantor-kantor untuk buka puasa bersama,” tutur Lao Moi.

Dia mengaku tidak menyiapkan antisipasi khusus untuk menghadapi lonjakan permintaan takjil menjelang pekan kedua Ramadhan. Namun, Lao Moi mengatur waktu kerja pegawai karena saat itu jeda produksi antara produksi pagi (pukul 06.00-07.00) dan produksi siang (11.00-12.00) hampir tak ada.

Pedagang dadakan

Pengusaha skala lebih kecil, seperti Dedi (25) yang berjualan tahu pedas goreng di Bogor Utara, juga menikmati peningkatan omzet usaha. Jika hari biasa ia hanya bisa menjual 200 porsi tahu seharga Rp 2.000 per tahu, selama bulan Ramadhan dia bisa menjual 400-500 tahu per hari. Dalam sebulan, setidaknya Dedi bisa mengumpulkan keuntungan bersih Rp 5 juta.

”Bulan Ramadhan, bulan penuh berkah itu benar. Berkahnya untuk semuanya, termasuk pedagang,” tuturnya sembari tertawa.

Selain pedagang rutin, muncul pula pedagang dadakan seperti di sentra penjualan takjil di sekitar Masjid Ar-Rahman di Bogor Utara. Bagi warga Kota Bogor, kawasan ini menjadi opsi utama jika hendak mencari takjil karena jenis penganan yang dijual cukup bervariasi. Setidaknya ada puluhan pedagang di sekitar masjid itu, mulai dari penjual kerak telur, mi glosor, bihun goreng, kolak, es kelapa, aneka gorengan, dan cireng (aci goreng).

Syarif (44), yang sehari-hari menjadi marbot (penjaga) di masjid itu, turut berjualan mi glosor, bihun goreng, kolak, dan aneka gorengan. Ia menyewa satu lapak bernaung tenda dengan sebuah meja sepanjang 2 meter di depan masjid sebesar Rp 300.000 selama Ramadhan. Tahun ini menjadi tahun kelima ia menjadi pedagang dadakan. Kali ini, ia meminjam uang sebesar Rp 1,5 juta untuk modal usaha.

Istrinya memasak mi glosor, bihun goreng, dan kolak. Lapaknya juga menjajakan aneka gorengan titipan dari beberapa kenalan. Ia menerapkan model bagi hasil.

Dari siang hingga Maghrib, omzetnya bisa mencapai Rp 2,5 juta. Jumlah itu diakuinya tidak terlalu besar dibandingkan beberapa ”tetangganya” yang berjualan di tempat sama, ada yang beromzet Rp 4 juta sehari. Jika ditotal selama Ramadhan, Syarif mengaku bisa mengantongi keuntungan bersih Rp 6 juta.

”Mungkin karena orang-orang mau yang cepat dan malas memasak, jadi jualan saya cukup laris. Hampir selalu habis, tetapi kalau dekat buka puasa masih ada yang belum terjual, saya bagi untuk takjil berbuka puasa di masjid,” tuturnya.

Omzet miliaran rupiah

Kurniawati Arik Purwani, Pelaksana Tugas Kepala Seksi Bina Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan Pedagang Kaki Lima dari Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor, tak punya data pasti jumlah pedagang takjil di Kota Bogor. Namun, ia memperkirakan jumlahnya lebih dari 500 orang.

Sebagian merupakan pedagang musiman, tetapi sekitar 50 persen merupakan pedagang makanan pada siang hari yang sementara beralih menjual aneka takjil. Dia memperkirakan perputaran uang dari ”industri” takjil ini bisa mencapai miliaran rupiah selama Ramadhan.

Namun, sayang potensi yang besar itu belum bisa difasilitasi pemerintah. Pedagang mengambil inisiatif berdagang di tepi- tepi jalan. Selain di sekitar Masjid Ar-Rahman, pedagang takjil bisa ditemui di sekitar Jembatan Merah, Bogor Tengah, atau di tepi-tepi jalan protokol lainnya. Belum ada upaya untuk mengakomodasi mereka di satu lokasi khusus. ”Kami masih belum bisa memfasilitasi mereka dalam satu tempat khusus karena keterbatasan anggaran,” tutur Kurniawati.

Padahal, jika pemerintah kreatif mengumpulkan para pedagang takjil di satu ”pasar takjil”, tentu bakal menjadi daya tarik kuat bagi Kota Bogor selama Ramadhan. Program itu tidak hanya akan membantu pedagang dan calon pembeli takjil, tetapi juga mendorong roda ekonomi rakyat berputar. ()

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com