Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

17 Agustus di Pulau Buru

Kompas.com - 19/08/2013, 17:05 WIB

Di masyarakat beredar informasi bahwa pertanian di Pulau Buru telah “tercemar” air raksa dan merkuri. Mereka pun berhenti makan beras lokal dan beralih ke beras impor yang telah diolah menjadi lebih putih dengan teknologi pasca panen yang lebih baik

Petani lokal pun makin terpuruk, sudah airnya tak mengalir, buruh tak ada, hasilnya pun tak ada yang membeli. Biaya produksi naik, tapi harga jual anjlok. Meski bupati telah mengelontorkan paket-paket stimulus yang baik, ribuan hektar sawah tetap tidak diolah sampai musim tanam berakhir. Dan lumbung padi Maluku ini pun terancam punah.

Benih-benih Konflik

Emas seperti memunculkan duka-duka lama, yang obatnya hanya satu: Ketegasan. Tegas bersikap, tegas mengatur dan tegas menjaga persaudaraan. Tegas ini juga berarti memenuhi janji yang terutang.

Duka lama itu adalah soal tanah.

Setahun yang lalu, saat memulai karya sosial di desa terpencil di pedalam Pulau Buru saya bertamu menemui Hinolong Raja yang membawahi bapak-bapak Soa di wilayah kerja Rumah Perubahan. Di desa Kobalahin, bapak Raja bercerita bagaimana tanah-tanah adat milik rakyat diambil begitu saja oleh pemerintah.

Mulanya tanah itu dipakai untuk kepentingan negara, sebagai area tahanan politik. Tahanan politik mengolah tanah. Mengajarkan pertanian, tetapi masyarakat adat tetap hidup dalam budaya merambah hutan dan berburu. Mereka hanya menjadi penonton, dan biasa hidup dengan pola "hari ini masuk hutan, hari ini hasil didapat.". Sedangkan masyarakat pertanian mempunyai budaya yang lebih modern: perencanaan, proses dan kesabaran menunggu hasil.

“Tetapi begitu tahanan dilepas, tanah-tanah subur itu tidak diserahkan kembali kepada kami, melainkan dialihkan kepada transmigran. Dan keturunannya bisa memperjualbelikannya. Mereka pegang sertifikat,” ujar Raja.

Raja juga mengeluhkan fasilitas jalan yang hanya dibangun hingga ke lahan-lahan pertanian. Sedangkan jalan menuju pemukiman adat tetap saja buruk.

Tak lama setelah itu saya mendengar dari penduduk transmigran bahwa hektaran tanah mereka direbut masyarakat adat. Aparat desa kewalahan, karena pemerintah bersikap mendua. Bagi masyarakat transmigran batas tanah adat dan lahan pertanian (transmigran) tiba-tiba menjadi tidak jelas, tetapi bagi masyarakat adat, tanah itu tetap diaku sebagai tanah nenek moyang mereka yang proses alih kepemilikannya belum jelas.

Tanpa basa-basi, masyarakat adat yang tiba-tiba mendapat uang dari emas mulai membangun rumah di atas tanah-tanah yang dulu diwariskan nenek moyang mereka. Rumah-rumah batu yang tak terplester utuh kini bertebaran di atas sawah-sawah itu sambil menyumbat saluran-saluran irigasi. Penduduk trans yang mengaku pernah mencetak sawah pun gigit jari.

Di satu kelompok saya mendengar umpatan terhadap kelompok-kelompok lainnya, demikian pula sebaliknya.

Perubahan pun terjadi. Masyarakat adat yang dulu hidup miskin kini mulai bisa membeli sepeda motor. Yang tadinya tak punya rumah, kini mulai membangun rumah. Tetapi basis fondasinya tidak kuat: Emas hanyalah rezeki sementara, apalagi bila dikuras habis-habisan. Pohon-pohon minyak kayu putih yang dulu menjadi sumber kekayaan akan mulai tergerus hingga ke akar-akarnya.

Emas juga membawa perubahan sosial. Rumah tangga retak, penyakit-peyakit baru bermunculan, bersama dengan peristiwa kriminal yang dulu tidak pernah ada. Emas juga memicu sifat rakus dan tamak yang tiada habis. Membuat kaum remaja berhenti sekolah. Tetapi hanya itu pilihan yang ada di kepala mereka yang biasa merambah hutan.

Saya pikir secuil kisah di Pulau Buru ini bukanlah khas masalah di satu lokasi, melainkan kisah pembangunan yang ditinggalkan negara sebelum masalahnya tuntas. Utang-utangnya belum dibayar dan masalahnya tak ditangani secara terpadu. Bila ini negeri merdeka, maka kebebasan saja tidak cukup. Dibutuhkan sebuah kepemimpinan yang melahirkan bangsa yang bermartabat, cerdas, damai, adil dan sejahtera seperti amanat para pejuang kemerdekaan. Bisahkah masalah ini diselesaikan oleh masyarakat itu sendiri? Saya pun meragukannya.

Kalau kita ingin swasembada beras, dan kalau kita ingin masalah pangan teratasi, jelas dibutuhkan sebuah ketegasan dan langkah yang terpadu. Jadi jangan abaikan Pulau Buru.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com