Oleh: Kris Razianto Mada

KOMPAS.com - Dengan bendera Citramas Group dan KS Energy, Kris Taenar Wiluan menjadi pemain global dengan inti bisnis pada logistik dan pengeboran minyak dan gas bumi. Pernah tiga kali nyaris bangkrut, kini bisnis peraih Indonesia Ernst & Young Entrepreneur of The Year 2009 itu tersebar di banyak negara dengan ribuan karyawan. Bahkan, Forbes memasukkan ayah tiga anak itu dalam daftar 40 orang terkaya Indonesia pada 2007 hingga 2009.

Unit-unit usaha sarjana komputer terapan dari Universitas London itu tidak hanya bergerak di bidang perminyakan. Kelompok usahanya juga mengelola kawasan wisata hingga industri perfilman dengan pelanggan sebagian besar dari mancanegara.

Tulang punggung utama bisnisnya memang tetap pada industri minyak dan gas. Citramas Group yang berbasis di Batam, Kepulauan Riau, terutama memproduksi aneka pipa dan peralatan penunjang pengeboran migas. Lebih dari 70 persen produksinya diekspor ke banyak negara.

Melalui KS Energy yang berpusat di Singapura, Kris memasok anjungan pengeboran dan menyediakan layanan pendukung industri migas di Asia, Afrika, Timur Tengah, Eropa, hingga Laut Utara. Dengan jaringan bisnis yang tersebar di banyak negara, ia tidak pernah memadamkan mimpi berkiprah lebih dalam di industri migas Indonesia.

Ia juga mengendalikan perusahaan keluarga, Citra Bonang. Dari perusahaan yang bergerak di bidang bumbu masak, Citra Bonang sekarang mengembangkan sayap ke bisnis distribusi suku cadang otomotif dan minyak pelumas

Berikut petikan wawancara dengan Kris Wiluan pada 22 Agustus 2013

Mengapa lebih fokus ke luar negeri?

Dengan ekspor, bisa membuktikan produk Indonesia kompetitif secara harga, kualitas, dan ketepatan waktu.

Citra Turbindo (anak usaha Citramas yang memproduksi aneka pipa dan pipa selubung untuk pengeboran migas) selalu membuktikan bagus dan kompetitif. Namun, itu relatif susah karena berhadapan dengan broker-broker produk impor. Mereka sering bilang bahwa produsen dalam negeri seperti Citra Turbindo lebih mengandalkan proteksi, harganya mahal. Lama-lama lelah juga melayani yang seperti itu. Akhirnya, sejak 1990, saya putuskan harus ekspor.

Saya katakan kepada teman-teman di sini, kita harus punya reputasi baik di luar negeri. Jadi, waktu masuk kembali ke Indonesia karena kualitasnya bagus.

Saya kira bukan hanya Citra Turbindo yang berpikiran untuk menjadi (pemain) global.
Kita tidak bisa lepas dari pengaruh global. Jadi, Indonesia harus belajar menjadi (pemain) global.

Bagaimana respons industri migas global terhadap Citramas dan KS Energy?

Kami diterima sebagai pemasok untuk Exxonmobil, Shell, Total, BP, Chevron, Premier Oil, ConocoPhillips, Aramco, dan berbagai perusahaan di banyak negara.

Tahun 2007, Citra Turbindo mendapat penghargaan sebagai pemasok terbaik dari segi harga, kualitas, dan ketepatan waktu pengiriman. Citra juga dapat akreditasi untuk menjadi pemasok ExxonMobil di seluruh dunia.

Apakah respons mereka selalu seperti itu?

Tahun 1987, Citra Turbindo menang tender pengadaan casing untuk LNG Arun. ExxonMobil, waktu itu masih Exxon, tidak yakin kami bisa bikin casing. Walau kami menang tender, mereka tidak mau beli dari kami karena dinilai Citra tidak punya teknologi untuk buat pesanan mereka. Mereka maunya impor.

Saya dipanggil ke Sekretariat Negara. Mereka bilang, kami mau kasih kamu. Bisa enggak kepala kamu dipegang? Saya bilang, saya siap mati asal pesanan terpenuhi, ha-ha-ha....

Exxon bukan satu-satunya yang tidak percaya kami mampu.

Saya pernah tiga kali nyaris bangkrut gara-gara perusahaan-perusahaan migas tidak mau beli produk kami. Mereka tidak yakin Citra mampu buat produk-produk itu. Ada saja cara mereka mengelak beli dari kami. Seperti hari ini tender, terus ditanya bisa enggak barangnya sampai. Ya, jelas enggak bisa. Mereka sudah siap barang impor di negara tetangga, tinggal dibawa masuk.

Dulu, tidak ada yang percaya perusahaan Indonesia mampu buat peralatan industri minyak. Dianggap hanya perusahaan asing yang mampu dan punya teknologi membuat itu. Pelan-pelan kami buktikan Indonesia mampu.

Sekarang relasi dengan ExxonMobile seperti apa?

Selain penghargaan di 2007, mereka memercayai kami membuat rig untuk Lapangan Banyu Urip yang disebut menjadi penghasil terbesar kedua di Indonesia.

Bukan rig biasa, ini diakui sebagai rig advance. Bisa dipindah tanpa bongkar menara. Biasanya rig untuk operasi di darat harus dibongkar dulu sebelum dipindah. Jadi, efisien sekali. Pekerjaan selesai dalam lima hari dari seharusnya 10 hari.

Kami buat sepenuhnya di Batam oleh orang-orang Indonesia. Selain penghargaan dari ExxonMobil, rig itu kebanggaan saya. Dengan itu bisa ditunjukkan Indonesia sanggup buat produk berkualitas dan maju.

Pertamina juga mengakui dan bangga dengan rig itu. Pejabat-pejabat Pertamina bilang rig seperti itu harus dipakai lebih banyak di Indonesia.

Dalam perjalanan bisnis, apakah tidak pernah mendapat fasilitas khusus?

Fasilitas sewajarnya saja. Saya selalu menekankan, kalau mau ikut tender, harus karena kemampuan baik. Ikut tender jangan mengandalkan relasi.

Di awal merintis usaha, memang ada kebijakan khusus dari pemerintah untuk mengutamakan perusahaan dalam negeri untuk proyek-proyek sumber daya alam. Bukan hanya saya yang memanfaatkan kebijakan itu. Perusahaan-perusahaan lain juga memanfaatkan kebijakan itu.

Sistem seperti itu ternyata ditiru negara-negara lain. Di tahun 1990-an, Malaysia dan Vietnam mencontoh kebijakan Indonesia. Belakangan Amerika Serikat juga. Mereka sepakat pengolahan sumber daya alam mereka harus oleh perusahaan dalam negeri.

Eropa dan Amerika Serikat sudah stop impor pipa dan casing untuk pengolahan migas dalam negeri.

Tahun ini tepat 30 tahun Citramas bergerak di industri migas, ada mimpi yang belum tercapai?

Saya ingin Indonesia menghasilkan peralatan pengeboran yang lebih efisien dan menghasilkan lebih banyak. Dahulu Indonesia bisa memproduksi 1,6 juta barel, sekarang kurang dari 900.000 barrel.