JAKARTA, KOMPAS.com -
Pemutusan hubungan kerja dan relokasi pabrik merupakan pilihan ketika industri yang bercorak padat karya dihadapkan pada kenaikan upah minimum provinsi yang terlalu tinggi di suatu daerah. Salah satu industri padat karya, yaitu tekstil dan produk tekstil, telah melaksanakan 60.000 pemutusan hubungan kerja dan merelokasi 60 pabriknya ke daerah.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat di Jakarta, Jumat (6/9/2013), mengungkapkan, pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang mencapai 60.000 orang tersebut terjadi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi (Jabodetabek). Tahun ini, upah minimum provinsi (UMP) di DKI Jakarta naik hingga 40 persen lebih dibandingkan dengan UMP 2012.

Selain PHK, 60 perusahaan industri TPT di Jabodetabek, yang merasa terbebani oleh UMP 2013, merelokasi pabriknya ke Jawa Tengah (Jateng). ”Namun, ada juga yang memilih ke Majalengka dan Subang (Jawa Barat) yang upahnya lebih rendah daripada Jabodetabek,” ujar Ade.

Ia menuturkan, sebanyak 36.000 orang yang selama ini dilatih sebagai operator di industri TPT habis terpesan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di Jateng.

Menurut Ade, dalam hal ini, orang di Jateng akan beruntung karena dapat terserap di industri TPT yang merelokasi usahanya ke sana.

Pekerja di Jabodetabek yang terkena PHK mungkin juga akan beruntung ketika terserap di sektor industri lain yang dapat memberi upah lebih tinggi daripada TPT.

”Cuma masalahnya, apakah kemampuan SDM (sumber daya manusia) mereka nantinya dapat memenuhi kebutuhan di sektor selain TPT tersebut? Ini yang menjadi masalah dan perlu dipertimbangkan,” kata Ade.

KOMPAS/ARDIANSYAH Relokasi Sejumlah Industri


Terkait dengan perdebatan besaran kenaikan UMP 2014, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani berpendapat bahwa permintaan kenaikan upah hingga Rp 3,7 juta per bulan untuk kondisi saat ini tidak realistis, bahkan destruktif bagi perekonomian.

Sebagai gambaran, berdasarkan informasi asosiasi yang diterima Apindo, pada semester I-2013 saja terjadi 44.000 PHK di sektor alas kaki yang juga industri padat karya.

Terkait dengan hal itu, Franky mengatakan, Apindo tetap pada sikap bahwa kenaikan upah minimum provinsi tahun 2014 idealnya menyesuaikan tingkat inflasi plus maksimal 5 persen bagi industri padat karya.

”Kenaikan UMP bagi industri padat modal menyesuaikan dengan tingkat inflasi plus 10 persen, sedangkan kenaikan UMP bagi kalangan usaha kecil dan menengah idealnya diserahkan kepada mekanisme bipartit,” kata Franky.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Tenaga Kerja Benny Soetrisno mengatakan, kenaikan UMP tidak bisa diseragamkan untuk semua sektor. ”Bagi industri padat karya, seperti tekstil dan garmen, sepatu, furnitur, dan mainan anak-anak, kenaikan UMP hingga 50 persen memang terlalu tinggi dan tidak realistis,” kata Benny.

Menurut Benny, apabila kenaikan UMP tetap dipaksakan setinggi angka tersebut, pengurangan karyawan atau PHK akan menjadi pilihan bagi perusahaan padat karya.

”Otomatisasi untuk menggantikan tenaga kerja akan terpaksa dilakukan,” kata Benny.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal beralasan, tuntutan kenaikan UMP 2014 sebesar 50 persen dilandasi beberapa alasan, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak, tingkat inflasi, dan perkiraan pertumbuhan ekonomi.