Oleh: Agustinus Handoko
KOMPAS.com -Hampir setiap hari, ratusan pohon karet tidak produktif ditebang dan dibakar di Kalimantan Barat. Di tangan Liu Suwarno, limbah kayu itu menjadi komoditas ekspor. Harganya pun selangit, Rp 5 juta per meter kubik.
Rubber wood finger joint, begitu papan kayu karet rakitan produksi PT Permata Borneo Lestari itu disebut. Bilah-bilah papan kayu karet yang dirakit itu tak hanya digunakan lantai papan atau parquet, tetapi juga bisa menjadi bahan baku furnitur.
Ide mengolah kayu karet yang awalnya hanya dibakar itu datang tahun 2010. Kala itu, Liu berbincang dengan Gubernur Kalimantan Barat Cornelis dan wakilnya, Christiandy Sanjaya. Dari obrolan itu, Liu mendapat informasi bahwa ada sekitar 200.000 hektar perkebunan karet di Kalbar yang tidak produktif, getahnya makin lama makin sedikit. Dalam jangka pendek, 100.000 hektar di antaranya harus segera diremajakan: ditebang dan diganti oleh bibit baru dari jenis unggul yang produksi getahnya lebih banyak.
Sejak masa kolonial, Kalimantan Barat merupakan salah satu basis perkebunan karet rakyat. Di banyak daerah di Kalbar, bisa dengan mudah ditemukan karet rakyat. Perkebunan rakyat itu lebih pas disebut sebagai hutan karet karena memang mirip hutan, pohon-pohon karetnya tidak ditanam dalam jarak yang teratur.
Pemilik lahan karet mulai beralih ke bibit unggul karena hasil produksinya jauh lebih banyak, bisa mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan karet rakyat. Ketika itu, masyarakat hanya membakar pohon-pohon karet yang telah ditebang. Sebagian kecil mengolahnya menjadi balok-balok, tetapi nilai ekonominya sangat kecil dan peminat kayu karet saat itu sangat sedikit.
”Pak Gubernur dan Wakil Gubernur bertanya kepada saya, apa yang kira-kira bisa dibuat dari kayu karet itu, apalagi jumlah kayu yang harus segera ditebang dan diganti dengan bibit unggul sangat banyak,” ujar Liu.
Pria kelahiran Anjongan, Kabupaten Pontianak, tahun 1954, itu lalu pergi ke China untuk melihat prospek industri kayu karet. Tak diduga, ternyata saat itu China membutuhkan papan kayu karet sebanyak 10.000 peti kemas berukuran 40 kaki. Papan kayu karet diperlukan China untuk membuat furnitur bagi pasar internasional. Thailand adalah satu-satunya negara yang memasok kebutuhan China, tetapi belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan.
Bekerja sama dengan seorang pengusaha dari daratan China, Liu lalu menyusun rencana bisnis hingga akhirnya memutuskan berinvestasi pada pengolahan kayu karet. Liu dan koleganya menginvestasikan dana 2 juta dollar AS atau saat ini setara dengan Rp 22 miliar untuk membangun pabrik pengolahan karet yang kemudian didirikan di Wajok Hulu, Kabupaten Pontianak, mulai tahun 2011. Pabrik mulai beroperasi pada 2013. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono bersama Cornelis mengunjungi pabrik itu pada Mei lalu.
Saat ini, terdapat sekitar 1.000 meter kubik papan kayu karet yang siap diekspor. Hingga pekan ketiga Agustus, produk itu belum bisa diekspor karena ada izin dari pemerintah lokal yang belum keluar kendati sudah setahun lebih diurus oleh Liu.
Selain akan diekspor ke China, papan kayu karet itu akan dikirim juga ke sejumlah negara Eropa. Industri pengolahan kayu karet yang dirintis Liu sangat prospektif. Selain karena tersedia dan terjaminnya pasokan bahan baku, produk kayu karet menjadi primadona baru.
Banyak negara hanya menerima produk furnitur berbahan baku kayu dari lahan budidaya. Karena alasan lingkungan, produk furnitur kayu dari hutan alam langsung ditolak masuk. Ini membuka lebar industri yang menggunakan bahan baku dari sumber yang berkelanjutan seperti papan kayu karet itu.