Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Waralaba Angkringan "Lik No", untuk Mereka yang Rindu Yogya

Kompas.com - 08/09/2013, 15:26 WIB
Estu Suryowati

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Sate telur puyuh, tempe tahu bacem, sate usus, dan sego kucing berjajar rapi di atas gerobak berukuran sekira satu setengah meter. Di samping deretan makanan itu, tiga ceret berisi air dijerang untuk menyeduh teh, kopi, wedang jahe, plus wedang salam.

Tak seperti umumnya angkringan, Angkringan Sego Kucing "Lik No" punya kekhasan lain. Jika selama ini angkringan identik dengan tempat makan dengan cahaya temaram, tidak bagi Satrio Adi Nugroho, si juragan.

"Biasanya, kalau angkringan pasti remang-remang. Kita concern ke makanan tradisional tapi pingin konsepnya beda, pingin terang, bersih, higienis, karena kita hidup di zaman modern. Tapi, rasa basic harus tetap ada," tutur pria yang akrab dipanggil Rio itu saat ditemui Kompas.com di Jakarta Convention Center (JCC), di Jakarta, Minggu (8/9/2013).

Awal mula membuka usaha angkringan, pada 2011, Rio berkisah soal kerinduannya akan kampung halamannya di Yogyakarta, termasuk pada angkringan. Lulusan jurusan manajemen Universitas Atmajaya Yogyakarta itu hijrah ke Jakarta pada 2004. "Pertama kali hijrah di Jakarta, saya mikir, kenapa ada yang kurang," ucapnya.

Rio mengatakan, bagi mereka yang sudah mengenal dan pernah bersekolah di Yogyakarta, angkringan adalah suatu hal yang tidak asing. "Kita rindu, kita pingin lagi ke angkringan. Jadi, kenapa angkringan, karena satu, saya hobi ngangkring, kedua saya suka makan. Jadi, pingin suatu saat harus punya," jelasnya.

Sebelum cita-citanya terlaksana dua tahun yang lalu, Rio pernah bekerja untuk beberapa perusahaan. Salah satunya menjadi staf internal audit di sebuah perusahaan ritel ternama, yang terletak di kawasan Tanah Abang.

Tak hanya di satu tempat, ia mengatakan pernah berpindah-pindah pekerjaan sepanjang 2004 hingga 2011. Rio pernah mencoba peruntungan menjadi pengusaha dengan membuka jasa laundry. Namun, ternyata menjadi pengusaha laundry juga bukan jalannya.

"Akhirnya saya niat, setelah gagal laundry, harus ada gantinya, dan dibukalah angkringan. Pertamanya saya beli satu gerobak itu harga Rp 2 juta, ditambah yang lain-lain jadi sekitar Rp 3-Rp 4 juta," ujar Rio.

Bulan pertama, Rio hanya dibantu oleh satu juru masak dan satu tenaga penjual. Bisnis kuliner yang satu ini tampaknya berjalan mulus. Pada bulan kedua, Rio sudah menambah satu lagi gerobak.

"Bulan ketiga saya bikin dapur, bulan kelima saya nambah gerobak lagi, dan bulan keenam ada teman yang mau join," terangnya.

Pada bulan keenam itulah, Rio memiliki empat gerobak, tiga di antaranya dikelola pribadi, satu dikelola mitra. Saat ini, jumlah Angkringan Sego Kucing "Lik No" mencapai 10 gerobak dan akan tambah lima gerobak lagi yang dikelola mitra.

"Gerobak pertama sekarang masih ada di belakang Summarecon, yang lainnya ada di Ciledug, Joglo, Meruya, Bekasi, dan Depok," jelasnya.

Akhir tahun ini, Rio menargetkan bisnisnya berkembang menjadi 20 gerobak. Ia optimistis karena didukung pula oleh Kementerian Perdagangan. Salah satu dukungannya adalah keikutsertaan dalam pameran franchise di JCC ini.

Nama Lik No diambil dari istilah Jawa, yaitu dielikna, yang dalam bahasa Indonesia berarti "diingatkan". Nama angkringan Rio, "Lik No", maksudnya adalah agar pembeli ingat akan angkringan ini.

"Maksudnya Lik No itu dielikna, yang artinya diingatkan supaya selalu ingat dengan kami. Di Jakarta, orang sukanya nongkrong di Sevel. Kalau di Jogja itu, ayo ketemu di angkringan, hehehe," lanjutnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com