Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rupiah Terpuruk, Segera Revisi UU Devisa

Kompas.com - 09/09/2013, 13:23 WIB
Didik Purwanto

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-undang Lalu lintas devisa Indonesia dianggap sebagai aturan devisa paling liberal sedunia. Tidak hanya itu, Undang-undang nomor 24 Tahun 1999 bekas peninggalan era Dana Moneter International (IMF) ini juga yang membuat pasar valas dan pasar modal Indonesia mudah rontok.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz mengatakan, fraksi Golongan Karya (Golkar) akan mengambil inisiatif untuk merevisi aturan yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah ini anjlok.

"Regulasi devisa yang ada sekarang sudah merugikan perekonomian dan sangat mengganggu sektor riil, harus segera direvisi. Itu target kami,” kata Harry di Jakarta, Senin (9/9/2013).

Ia menambahkan, saat ini merupakan momentum yang tepat melakukan revisi atas UU Lalu lintas Devisa tersebut. Ia menyebut kondisi pasar valas Indonesia mudah kering sebab orang asing seenaknya keluar masuk pasar modal dan instrumen portofolio keuangan. Kondisi tersebut yang mengakibatkan perekonomian Indonesia terguncang oleh instabilitas pasar uang dan pasar modal.

Harry menilai, kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus. Harry mengatakan, saat ini draft rancangan tersebut masih di tingkat Deputi Sekjen Perundang-Undangan DPR. Namun, belum masuk ke Komisi XI.

Dijelaskan Harry, UU Devisa saat ini memberi kelonggaran yang cukup luas kepada Bank Indonesia (BI) untuk mengatur lalu lintas devisa dan valuta asing melalui Peraturan Bank Indonesia. Namun faktanya, Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang ada belum cukup ampuh meredam gejolak rupiah belakangan ini.

Tak hanya itu, devisa bangsa ini malah semakin dinikmati oleh pihak luar. Harry memberi contoh, Thailand merupakan negara yang sukses memburu serta mengembalikan devisa hasil ekspornya melalui UU Devisa yang sangat ketat. “Dalam UU Devisa di Thailand tersebut ada kewajiban untuk menempatkan DHE (Dana Hasil Ekspor) di bank lokal dalam periode tertentu atau disebut holding period. Saya kira ini bagus, supaya pasar valas kita tidak mudah dimainkan dan stabil, dunia usaha juga jadi tenang,” ujar Harry.

Harry mengatakan, terbukti Thailand berhasil menjaga nilai tukar mata uangnya atas dollar AS saat krisis politik “kaos merah” beberapa tahun silam. Sebab itu, Golkar beranggapan, saatnya Indonesia perlu memiliki UU Devisa yang dapat mengamankan perekonomian nasional.

Menurut Harry, saat ini Bank Indonesia memiliki PBI No.13/20/PBI/2011 dan Surat Gubernur BI no.14/3/GBI/SDM tanggal 30 Oktober 2012. Di sana diwajibkan devisa hasil ekspor komoditas tambang, serta minyak dan gas yang diparkir di luar negeri ditarik ke dalam negeri paling lambat 90 hari setelah tanggal pemberitahuan ekspor barang (PEB). Namun, PBI tersebut terbukti tidak cukup kuat menarik dan menahan devisa hasil ekspor ke dalam negeri.

”Salah satu penyebabnya, tidak ada kewajiban menaruh devisa di dalam negeri dalam waktu tertentu (holding period) dalam enam bulan misalnya. Sebab disitu aturannya cuma melakukan pelaporan. Ya kembali lagi ke luar negeri. Negara ini dapat apa?” pungkas Harry.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Whats New
OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

Rilis
Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Whats New
Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Work Smart
INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

Whats New
Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Whats New
Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal 'Jangkar' Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal "Jangkar" Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Whats New
Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Whats New
Lebaran 2024, KAI Sebut 'Suite Class Compartment' dan 'Luxury'  Laris Manis

Lebaran 2024, KAI Sebut "Suite Class Compartment" dan "Luxury" Laris Manis

Whats New
Rupiah Melemah Sentuh Rp 16.200, Mendag: Cadangan Divisa RI Kuat, Tidak Perlu Khawatir

Rupiah Melemah Sentuh Rp 16.200, Mendag: Cadangan Divisa RI Kuat, Tidak Perlu Khawatir

Whats New
Rasio Utang Pemerintahan Prabowo Ditarget Naik hingga 40 Persen, Kemenkeu: Kita Enggak Ada Masalah...

Rasio Utang Pemerintahan Prabowo Ditarget Naik hingga 40 Persen, Kemenkeu: Kita Enggak Ada Masalah...

Whats New
Giatkan Pompanisasi, Kementan Konsisten Beri Bantuan Pompa untuk Petani

Giatkan Pompanisasi, Kementan Konsisten Beri Bantuan Pompa untuk Petani

Whats New
IHSG Turun 19,2 Poin, Rupiah Melemah

IHSG Turun 19,2 Poin, Rupiah Melemah

Whats New
Catat, Ini Jadwal Perjalanan Ibadah Haji Indonesia 2024

Catat, Ini Jadwal Perjalanan Ibadah Haji Indonesia 2024

Whats New
Pada Liburan ke Luar Negeri, Peruri Sebut Permintaan Paspor Naik 2,5 Lipat Pasca Pandemi

Pada Liburan ke Luar Negeri, Peruri Sebut Permintaan Paspor Naik 2,5 Lipat Pasca Pandemi

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com