Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, melihat bentuk-bentuk inkonsistensi pemerintah pada kebijakan mobil murah, mulai dari teknis mikro hingga makro ekonomi.
"Pertama, tidak masuk akal, kan ini mobil murah tapi tidak boleh pakai premium, ya ini tidak konsisten, target yang ingin dibidik siapa?" kata Enny saat dihubungi Kompas.com, pada Minggu (22/9/2013).
Mengutip dari berbagai pemberitaan, Enny mengatakan, mobil murah hadir dengan maksud masyarakat berpenghasilan rendah bisa memiliki kesempatan sama dengan yang berpenghasilan tinggi dalam kepemilikan mobil.
"Kenapa tidak dibaca, kenapa orang harus kredit? Karena tidak ada transportasi publik. Justru harusnya yang dibaca itu," sambung Enny.
Inkonsistensi lain juga tercermin karena dua bulan sebelum rilisnya mobil murah, pemerintah mengeluarkan empat paket kebijakan yang salah satunya keseimbangan neraca transaksi berjalan. Salah satu yang jelas membebani neraca perdagangan adalah impor minyak mentah.
"Ini belum sampai membicarakan kuota BBM subsidi. Dengan depresiasi rupiah saat ini, dan jika terus berlanjut, dengan adanya mobil murah pembengkakannya bisa sampai Rp 70 triliun," jelasnya.
Belum lagi, imbuh dia, dalam hal konsumsi BBM, dikhawatirkan masih banyak pengguna mobil murah yang menggunakan premium sehingga, menurut Enny, kebijakan mobil murah sangat parsial dan menimbulkan polemik. Padahal, masih banyak kebijakan yang bisa mengoptimalkan kinerja ekonomi, dan tak kontradiktif dengan empat paket kebijakan.
"Pemerintah tidak mungkin tidak tahu ini. Sebenarnya apa yang terjadi. Akhirnya, ini kan justru menimbulkan syak wasangka dan analisis dari berbagai aspek," kata dia.
Kejanggalan lain yang menjadi perhatian pengamat ekonomi ini yakni jika orientasinya pasar ekspor, mengapa pasar lokal jauh-jauh hari sudah memesan (indent) bahkan jumlahnya mencapai 20.000 unit?
Sebelumnya pemerintah berdalih mobil murah disiapkan dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) 2015 agar tak digerus pasar mobil sejenis dari Thailand dan Vietnam.
"Kemudian soal distribusi. Dengan harga Rp 100 juta-an, daya beli itu minim sekali di pelosok Papua. Relatif lebih besar di Jawa. Jadi, bagaimana mungkin akan terdistribusi merata ke masyarakat berpenghasilan rendah?" ujar Enny.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanDapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Daftarkan EmailPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.