Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/10/2013, 08:05 WIB


KOMPAS.com -
Sebagai ilustrasi, biaya pendidikan di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta, yang pada tahun 2012 sekitar Rp 90 juta, pada tahun 2020 bisa mencapai Rp 200 juta. Bahkan, pada tahun 2025 bisa sekitar Rp 300 juta.

Untuk perguruan tinggi swasta di Jakarta, perkiraan biayanya jauh lebih tinggi. Misalnya, biaya pendidikan pada tahun 2012 sebesar Rp 200 juta. Pada tahun 2020 bisa melonjak menjadi Rp 450 juta, bahkan pada tahun 2025 bisa sekitar Rp 700 juta.

Lebih tinggi lagi biaya pendidikan di perguruan tinggi luar negeri yang pada tahun 2012 mencapai Rp 900 juta, pada tahun 2020 bisa menjadi Rp 2 miliar. Pada tahun 2025, meningkat lagi signifikan menjadi Rp 3 miliar.

Membayangkan angka-angka itu saja sudah membuat kita membuat hitung-hitungan sederhana di kepala. Seberapa besar dana yang harus kita siapkan agar kelak mencukupi kebutuhan biaya pendidikan itu?

Cara yang terbaik, tentu saja menyiapkan dana tersebut jauh-jauh hari. Bisa dengan menyisihkan dana tertentu setiap bulan hingga saatnya diperlukan nanti.

Ardi, misalnya, menyadari betul keperluan dana pendidikan bagi putra semata wayangnya yang akan naik setiap tahunnya. Meskipun bukan di sekolah yang paling mahal, dia ingin anaknya bisa mengenyam pendidikan yang baik. Yang pasti, tetap bisa mendapat kesempatan sekolah.

Oleh karena itu, sejak anaknya berumur tiga tahun, Ardi dan istrinya menjadi nasabah asuransi pendidikan. Dari perhitungan premi bulanan yang dibayarkan, Ardi bisa mencairkan dana atau klaim asuransi pendidikan putranya untuk jenjang pendidikan tertentu.

”Klaim asuransi pendidikan anak saya cair saat akan masuk sekolah dasar, masuk sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan saat masuk kuliah,” ujar Ardi.

Saat itu, Ardi dan istrinya mendapatkan penjelasan dari perusahaan asuransi mengenai skema asuransi berikut rincian premi dan nilai pertanggungan. Berdasarkan perhitungan itu, Ardi dan istri memilih premi bulanan sebesar Rp 500.000 yang dibayarkan setiap 6 bulan sekali.

Ketika anaknya masuk sekolah dasar (SD), Ardi mencairkan klaim sebesar Rp 7,5 juta. Namun, dana itu ternyata masih kurang karena biaya anaknya untuk masuk SD tiga tahun lalu itu sekitar Rp 11 juta.

”Ya, terpaksa ada tambahan dana lagi yang harus dikeluarkan, selain dari asuransi itu. Saat ambil skema asuransi, perhitungan kami biaya masuk SD sekitar Rp 7,5 juta. Ternyata meleset,” kata Ardi.

Sesuai skema asuransi pendidikan yang diikuti Ardi, pada saat anaknya lulus SD sekitar tiga tahun lagi, klaim yang akan cair sebesar Rp 15 juta. Ardi berharap, ia tidak harus menambah dana cukup besar jika perhitungannya saat mengambil asuransi pendidikan meleset.

Perlindungan

Sebagaimana asuransi jenis lainnya, asuransi pendidikan bertujuan memberikan perlindungan. Bedanya, asuransi pendidikan memberikan perlindungan untuk kebutuhan pendidikan. Dengan demikian, saat orangtua atau pembayar biaya pendidikan mengalami musibah atau kejadian yang tidak diharapkan, anak atau penerima rencana pendidikan tetap dapat melanjutkan pendidikannya sesuai rencana yang ditetapkan semula.

Menurut perencana keuangan independen, Risza Bambang, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum menetapkan pilihan asuransi pendidikan. Faktor itu adalah program pendidikan yang diinginkan, penyedia pendidikan yang dipilih, biaya pendidikan yang diperlukan sesuai program, dan nilai biaya pendidikan saat ini.

Faktor lain adalah usia orangtua dan usia anak saat ini, serta jangka waktu saat ini sampai dengan saat program pendidikan itu diperlukan. Selain itu, perlu juga memperhatikan asumsi inflasi kenaikan biaya pendidikan.

Artinya, orangtua atau pembayar biaya pendidikan sudah harus punya ancar-ancar lebih dulu, apakah anaknya akan menempuh pendidikan sekolah dasar (SD) sampai dengan sarjana strata satu (S-1), atau bahkan sampai strata dua (S-2). Lalu, tetapkan juga ancar-ancar sekolah yang diinginkan karena setiap sekolah memiliki biaya berbeda.

Kemudian, usia orangtua yang 35 tahun dengan usia anak 5 tahun tentu beda perhitungannya dengan orangtua usia 30 tahun dengan usia anak 5 tahun. Hal ini memengaruhi besaran dana yang harus disisihkan setiap bulan agar mencapai nilai tertentu saat diperlukan.

Berikutnya, Risza menjelaskan, pembelian asuransi pendidikan tetap harus dibantu ahli yang menguasai. Calon nasabah bisa meminta bantuan perencana keuangan atau agen di perusahaan asuransi. Langkah ini bisa dilakukan setelah kondisi keuangan orangtua atau pembayar pendidikan dievaluasi.

Kemampuan biaya pendidikan juga harus diperhitungkan. Jangan sampai terlalu besar menyediakan dana pendidikan—dengan niat baik demi sekolah yang terbaik bagi anak, tetapi justru mengabaikan biaya kesehatan dan kehidupan sehari-hari.

”Kemudian, yang tidak boleh diabaikan, menentukan perusahaan penyedia produk yang terbaik dan teraman. Lalu, pilih produk yang paling cocok dengan kebutuhan dan kemampuan,” kata Risza.

Bonafiditas perusahaan penyedia produk asuransi memang merupakan hal penting dan tidak boleh diabaikan. Asuransi pendidikan berhubungan dengan masa depan yang panjang. Bayangkan saja jika sudah membayar premi lima tahun, tetapi kemudian perusahaan asuransi itu dinyatakan kolaps.

Ardi rupanya mengalami hal serupa. Saat ini, perusahaan tempatnya menjadi nasabah asuransi pendidikan sedang dirundung persoalan kinerja keuangan yang memburuk.

”Saya jadi berpikir untuk memindahkan saja asuransi pendidikan anak saya ke perusahaan lain. Kalau mengetahui berita soal perusahaan asuransi yang sekarang saya jadi nasabah, tidak tenang rasanya,” keluh Ardi.

Risza yang juga Presiden Direktur Padma Aktuaria menegaskan, calon nasabah sebaiknya memilih perusahaan asuransi yang terbaik dan tepercaya. Artinya, perusahaan asuransi itu ahli mengelola produk dan memiliki performa keuangan yang solid.

Risza menyarankan agar calon nasabah mencari informasi tentang perusahaan asuransi sebelum menetapkan diri sebagai nasabah. Informasi itu di antaranya mengenai jumlah nasabah untuk produk yang akan diambil, jumlah premi untuk produk itu, dan performa keuangan secara umum dalam lima tahun terakhir. ”Performa keuangan itu seperti profit, total profit, total klaim, jumlah nasabah, dan rasio kecukupan modal atau risk-based capital,” papar Risza.

Calon nasabah juga bisa meminta informasi atau data dari Asosiasi Asuransi. Bahkan, jika memungkinkan, menghubungi Otoritas Jasa Keuangan (otoritas yang membawahi asuransi) untuk meminta informasi sebagai konsumen asuransi.

Bagi nasabah seperti Ardi, yang saat ini sedang resah akibat kinerja perusahaan asuransi yang memburuk, Risza menyarankan agar Ardi menghubungi OJK untuk mengetahui kepastian kondisi perusahaan. Dengan asumsi perusahaan asuransi itu tepercaya, semestinya tidak ada masalah dalam pertanggungan asuransi nantinya.

Segala hal yang berhubungan dengan perlindungan di masa depan tentu tak boleh kita abaikan. Pilihannya ada pada kita sendiri, dengan cara apa akan melindungi diri. (dewi indriastuti)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com