Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inilah Para Penggiat Ekonomi Baru

Kompas.com - 05/11/2013, 12:08 WIB

                                                         Rhenald Kasali
                                                       @Rhenald_Kasali

Beberapa hari lalu Kompas dan Bank Danamon memperkenalkan saya dengan Umar Husein. Ketika bersalaman, saya merasakan jari-jarinya penuh energi, meski jumlah anak jarinya tak selengkap yang kita miliki. Kakinya juga hanya sebelah, dipandu oleh sebuah penyangga kayu, mengingatkan saya pada Sano Ami, penyanyi tanpa tangan dan kaki dari Jepang.

Tentu saja bukan hanya Umar Husein. Di sana ada Jumali W. Perwito, Sukmariah, Sunarni dan Eko Mulyadi. Tetapi saya ingin fokus pada Umar Husein yang malam itu mendapatkan hadiah berupa kursi roda dan esoknya diajak berkeliling Ibu Kota.

Bagi saya, Umar Husein adalah sosok penggiat ekonomi baru yang disebut social entrepreneur. Sama seperti Kamilus Tupen yang pernah saya ceritakan kiprahnya di Pulau Adonara.

Uang?

Ekonomi yang kita kenal selama ini adalah sebuah kumpulan transaksi yang dimediasi oleh uang. Maka tak heran kalau anak-anak muda sering beranggapan harus ada uang dulu baru berusaha.  Padahal Kamilus Tupen sudah membuktikan bahwa di daerah terpencil, ekonomi harus bisa dibangun tanpa kehadiran uang. Caranya adalah mempertemukan supply (buruh) dengan demand (pemilik kebun) melalui kegiatan tanpa uang.

Umar Husein kondisinya lebih parah dari kita. Selain kondisi ekonomi yang terbatas, dia tinggal di daerah terpencil di Sampit, Provinsi Kalimantan Tengah, serta keadaan fisiknya sangat membatasi gerakannya.

Tetapi energinya seperti tak ada yang bisa menghentikannya. Ia bisa tetap bersepeda motor mendatangi teman-temannya, sesama kaum difabel yang hampir menyerah. Ia bukan petugas kelurahan, juga bukan PNS. Tetapi kepeduliannya jauh lebih kuat daripada pegawai dinas sosial kabupaten.

Umar hanyalah tukang jahit biasa yang sama seperti wirausaha-wirausaha kecil lainnya: Selalu menghadapi masalah. Pasar terbatas, modal kecil, kerja sendiri, daya beli di daerah terpencil tidak kuat, infrastruktur yang buruk, ketidakpastian tinggi, pembeli berhutang dan seterusnya.

Namun bukan wirausaha namanya kalau mudah menyerah dan beranggapan modal adalah uang. Uang itu hanyalah media yang bisa diganti dengan sistem barter. Bahkan di dunia modern saja sedang berkembang financial innovation untuk memudahkan kegiatan ekonomi.

Maka ketimbang mengeluh, ia mengalahkan rasa khawatirnya terhadap hari esok dengan menolong orang lain. Inilah para penggerak ekonomi baru yang keren! Mereka berwirausaha bukan untuk memperbesar tabungan, melainkan untuk menumbuhkan industri dan menjalankan hobi berkegiatan sosial sekecil apapun.

Umar Husein mendatangi kaum difabel untuk mengajarkan menjahit, menjadi tukang jahit dan seterusnya. Tentu saja mereka bukan hanya takut, melainkan juga kurang percaya diri. Tetapi Umar Husein tak menyerah. Setiap hari ia mengayuh 30-100 kilometer, menembus gelap dan jalan tanah bergelombang. Ia juga menyisihkan keuangannya untuk memodali orang-orang itu tanpa memikirkan feasibility study, atau risk management-nya.

Ini sama seperti Eko yang mengupayakan ternak lele untuk penduduk di kampung idiot di Ponorogo atau Jiwo Pogog yang meninggalkan bisnis ekspor mebelnya di Jepara dan membangun pertanian papaya untuk penduduk di Wonosari.

Financial Innovation

Di sisi lain, dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini kita menyaksikan perubahan besar-besaran dalam transaksi pembayaran. Uang tunai kini bukanlah satu-satunya penentu dalam transaksi. Dulu bahkan Indonesia diketahui sebagai pelopor perubahan dalam transaksi barter yang kelak dikenal sebagai countertrade dalam perdagangan internasional.

Setelah itu, selain kartu kredit, dunia keuangan juga menciptakan instrumen-instrumen baru yang kontroversial. Disebut kontroversial, karena inovasi-inovasi dalam sekuritas itu dapat menjadi penentu pertumbuhan ekonomi, namun di lain sisi ia menjadi penyebab terjadinya krisis yang merembet begitu cepat.

Tetapi poin saya adalah, dalam era financial inclusion yang kini sedang banyak digelorakan oleh industri perbankan, Indonesia perlu mengapresiasi para penggerak ekonomi baru di sudut-sudut negeri yang miskin uang tunai.

Inovasi-inovasi keuangan tentu saja bukanlah milik pelaku ekonomi besar yang didukung  konsultan-konsultan keuangan global, melainkan juga pelaku-pelaku di pedalaman  yang APBD provinsinya rendah dan perputaran uangnya lambat.

Penggerak ekonomi baru di desa-desa terpencil juga butuh sentuhan inovasi yang  mempercepat, serta menumbuhkan adrenalin berwirausaha. Sebab tanpa wirausaha kerakyatan, tak ada geliat ekonomi yang memasuki relung pasar berdiameter kecil yang miskin lentera.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com