Saat keran liberalisasi sektor perbankan dibuka tahun 1998, banyak investor Malaysia dan India masuk. Konsekuensinya, rencana bisnis ditentukan pihak asing. Sementara pengaruh pemerintah dalam mengajak bank mendorong kepentingan nasional menjadi minim.
Catatan Kompas, di sektor perbankan sedikitnya 12 bank swasta kini dikuasai asing. Di sektor pertambangan migas sekitar 70 persen dikuasai pihak asing, pertambangan tembaga dan emas sekitar 85 persen dikuasai asing.
Demikian pula pada sektor perkebunan sawit di mana sekitar 40 persen dari 8,9 juta hektar kebun kelapa sawit dikuasai asing. Di sektor telekomunikasi, 35 persen sampai 66,5 persen juga dikuasai asing.
Hendri menyarankan, DNI bisa dibuat lebih spesifik disandingkan dengan insentif yang tepat, termasuk dalam hal lokasi penanaman modalnya. Dengan demikian, insentif, DNI, kepentingan swasta ataupun nasional sinkron. Tanpa itu, apalagi nihil strategi, yang terjadi adalah kerugian kepentingan nasional.
”Harus menguntungkan semua pihak. Oleh karena itu, harus ada perencanaan sebagai acuan. Tidak bisa dibuka di mana saja. Kita perlu pendanaan dari luar untuk mendorong sesuatu, tapi perlu strategi yang jelas.”
China, misalnya, kata Hendri, membutuhkan waktu sembilan tahun untuk meliberalisasi sektor perbankan dan keuangan. Sektor keuangan diletakkan sebagai pendukung sektor riil. Dengan demikian, strateginya adalah menguatkan sektor riil dulu. ”Ini yang tidak terjadi di kita. Kita liberalisasi keuangan dulu. Riil baru belakangan,” kata Hendri.
”Implikasi kalau tanpa referensi, pokoknya bisa masuk investasi saja. Jadinya, lobi dari investor yang siap masuk jauh lebih kuat dari pertimbangan kita sendiri. Akhirnya, manfaatnya menjadi minim,” kata Hendri.
Secara terpisah Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Sri Edi Swasono menyatakan tidak kaget dengan kebijakan pemerintah tersebut. Alasannya, itu merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan undang-undang lain yang dinilai instrumen liberalisasi. Sejumlah aturan tersebut telah diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk diuji materi.
”Kedaulatan Indonesia tidak untuk dijual. Indonesia sendiri tidak untuk dijual. Saya cemas sekali. Ini betul-betul liberalisme in optima forma. Negara kita dijual. Dan kita prihatin sekali,” kata Edi, yang juga Ketua Umum Majelis Luhur Taman Siswa.
Edi berpendapat, penyebab itu semua tidak saja karena paham neoliberal yang dianut para pemimpin Indonesia saat ini, tetapi juga karena sifat minder. Akibatnya, para pemimpin selalu mengagungkan investor.
Bung Karno dan Bung Hatta, Edi menekankan, berpesan agar bangsa Indonesia tidak boleh antiasing. Namun, kedua bapak pendiri bangsa itu tidak mau kalau ekonomi asing mendominasi Indonesia. (LAS)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.