Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Babak Baru "Open Access", Siapa yang Diuntungkan?

Kompas.com - 02/12/2013, 11:03 WIB

Lalu yang kedua, analis UBS menemukan masa depan gas-gas Indonesia tidak lagi berada di Sumatera atau Indonesia Timur. Dengan begitu, pendistribusian dalam bentuk gas cair LNG yang mudah diolah jauh lebih menguntungkan daripada melalui pipa-pipa transmisi antar pulau.

Nah yang lebih membuat PGN pusing, penguasa terminal LNG adalah Pertagas (70 persen market share). Sudah begitu, jaringan pipa distribusi Pertagas sangat dekat dengan basis pelanggan PGN. Tarif harga gas distribusi Pertagas, menurut analis itu 45 persen dibawah tarif yang dikenakan PGN.

Ini tentu mengganggu kenyamanan incumbent. Transformasi besar-besaran di Pertamina kini harus diimbangi dengan perubahan besar-besaran di PGN. Karena PGN tak punya sumber gas sendiri, maka PGN perlu mencari sumber-sumber gas yang lebih pasti dengan masuk ke hulu.

Tetapi bisnis eksplorasi sangat beresiko tinggi dan butuh ketrampilan yang memadai. Sedangkan Pertagas sudah pasti punya gas dari Pertamina. Apalagi setiap kali Pertamina mengebor minyak selalu ada gas di atasnya. Mungkin karena itulah isue tentang akuisisi mencuat, menjadi semacam wishful thinking.

Konsumen Diuntungkan

Untuk sementara, PGN memang tengah berada pada posisi sulit. Tetapi dalam manajemen perubahan kita memandangnya dengan kacamata yang berbeda. Perubahan ini bukanlah sesuatu yang layak ditangisi, apalagi ditakutkan. Ini hanyalah sebuah “sakit” yang diberikan untuk berubah.

Kalau harga gas turun dan konsumen diuntungkan, maka volumenya akan meningkat. Dan kalau volumenya besar, maka total income yang diterima PGN dari “toll fee” pada pipa-pipa transmisinya dalam jangka pendek akan naik.

Tetapi kita juga perlu memahami bahwa 44 persen dari total pelanggan distribusi gas industri ini hanya berasal dari satu perusahaan: PLN. Maka, sudah pasti Open Access tidak dapat dihindari karena hal ini sejalan dengan kepentingan nasional untuk mengurai ekonomi biaya tinggi. Tambahan pula salah satu pemegang saham publik terbesar di PGN adalah JP Morgan. Sudah pasti di sana berkumpul ahli-ahli yang menguasai masalah ini.

Di banyak negara, isu Open Access sudah diterima lebih dari 25 tahun yang lalu. Dimulai dari pembukaan jalur komunikasi telfon kabel hingga gas. Pelanggan Amerika yang tidak puas dengan layanan AT & T misalnya (atau merasa tarifnya kemahalan) dengan cepat berpindah operator tanpa dikenakan biaya sambungan baru.

Dalam distribusi gas, di Amerika Serikat sendiri, sebanyak 70 juta rumah tangga dilayani oleh lebih dari 1500 perusahaan tanpa perlu gali lobang-tutup lobang menanam pipa-pipa baru. Tetapi 20 tahun yang lalu, terjadi pertempuran sengit antara local distribution company (seperti PGN) dengan pemilik gas dan pemilik pipa. Solusinya pun ditempuh secara bisnis: restrukturisasi model bisnis dan merger.

Demikian pula di Uni Eropa. Bulan oktober lalu bahkan Komisi UE mengeluarkan aturan-aturan baru untuk menata alokasi kapasitas demi mencegah kongesti dalam pipa-pipa yang jalurnya terbuka untuk semua pelaku usaha itu. Semuanya diarahkan untuk meningkatkan daya saing industri.

Di Jawa Timur sendiri, praktik Open Access telah mulai bisa dilihat dampaknya terhadap gainyang diperoleh konsumen.

Sebelum Open Access diberlakukan konsumen membayar gas dengan harga 8 dollar AS/mmbtu. Saat Open Access digagas, Pertagas masuk dengan menawarkan  6-7 dollar AS/mmbtu. Khawatir kehilangan pelanggan, Gagas (anak perusahaan PGN) menawarkan harga yang lebih murah lagi, 5,5 dollar AS/mmbtu.

Ini berarti kompetisi mulai bekerja. Persaingan yang sehat jelas menguntungkan konsumen dan memajukan industri. Dengan tarif yang lebih kompetitif ini, incumbent dipaksa berbenah. Industri-industri pemakai gas yang berbahan baku impor di tengah-tengah melemahnya nilai tukar rupiah akan sedikit terbantu. Saya percaya PGN memiliki kemampuan berubah secara mendasar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com