Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengamat: Ancaman PHK Jadi Justifikasi Pemerintah Revisi PP Minerba

Kompas.com - 11/01/2014, 19:20 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Revisi dua peraturan turunan Undang-Undang 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diduga bukan dilandasi oleh kekhawatiran akan melemahnya perekonomian sektor tambang Indonesia. Ada kecurigaan bahwa revisi itu dilakukan karena pemerintah lemah menghadapi tekanan perusahaan asing.

Dua peraturan yang direvisi itu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 20 Tahun 2013 tentang Peningkatan Nilai Tambah Pertambangan Mineral. Revisi dilakukan karena ada pemutusan hubungan kerja (PHK) pada sektor pertambangan karena mayoritas perusahaan tambang bermodalkan asing.

"Saya kira karena pemerintahnya yang lemah. Kalau ekonominya, sebulan yang lalu, baik Pak Hatta (Rajasa) atau Pak Chatib (Basri) bilang, kalau UU Minerba itu dijalankan, ada dampak ekonomi sekian triliun. Itu, katanya, bisa diatasi dengan berbagai program dan juga pendapatan yang bisa menutupi kekurangan akibat larangan ekspor bijih mentah," ujar Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara kepada Kompas.com, Sabtu (11/1/2014).

Ia menengarai pemerintah bakal merekayasa aturan untuk menurunkan kadar pemurnian, jauh dari yang diamanatkan dalam Pasal 170. Menurut Permen ESDM No 20/2013, konsentrat tembaga yang bisa diekspor adalah berkadar tembaga (Cu) 99,99 persen, serta pemurnian tembaga hingga 99 persen. Ketentuan ini akan diubah menjadi boleh mengekspor bijih mineral mentah (ore) dengan kadar kemurnian 30 persen-40 persen.

Kabar yang beredar di kalangan wartawan, pelonggaran kadar minimal olahan tembaga itu merupakan permintaan khusus PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara. Kedua perusahaan itu hanya mengolah konsentrat berkadar tembaga 30 persen-40 persen serta memurnikan 30 persen-40 persen dari total produksi per tahun. (Baca: Indonesia Luluh Dilobi Raksasa Penambang).

Marwan menilai sikap melunak itu bukan disebabkan pemerintah tidak mau "pahit di awal" dengan menerima segala risiko dampak pelarangan ekspor ore, seperti turunnya penyerapan tenaga kerja dan merosotnya penerimaan negara. Meski demikian,Marwan mengatakan bahwa jika UU Minerba diimplementasikan konsisten, maka Indonesia akan memiliki sektor tambang hilir dan lebih siap lepas landas menjadi negara industri.

"Saya lihat, justru mereka mendapatkan suntikan keberanian dengan adanya ancaman PHK. Ini yang justru diambil untuk menjustifikasi sikap lemah yang pada dasarnya sudah dimiliki (pemerintah) sejak beberapa tahun terakhir atau malah sudah sejak semula," kata Marwan.

Marwan menilai pengaruh dua korporat besar pertambangan itu bisa saja menimbulkan situasi seolah-olah akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja. Pahadal, kata Marwan, jika hal itu diakomodasi oleh pemerintah, maka hal itu justru memunculkan kebijakan yang cenderung mendukung perusahaan asing.

Hari ini pemerintah akan mengambil keputusan akhir terhadap peraturan pemerintah pendukung implementasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (minerba) yang melarang ekspor ore. Finalisasi rumusan aturan turunan UU Minerba akan dibahas di kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, Bogor, bersama kementerian dan lembaga terkait, Sabtu siang. Namun, informasi yang diterima Kompas.com, pengumumannya akan dilakukan di Istana Negara malam ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com