Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bunyi Duit di Kampung Kaleng

Kompas.com - 02/02/2014, 13:02 WIB

KOMPAS.com -
Selama bunyi tak-tek-tok masih terdengar, berarti duit terus berputar. Begitu kata para perajin perabotan berbahan kaleng di Kampung Dukuh, Desa Pasirmukti, Citeureup, Kabupaten Bogor.

Memasuki Kampung Dukuh, Desa Pasirmukti, seperti memasuki dunia kaleng. Sejauh mata memandang, pelat-pelat kaleng yang baru maupun bekas terlihat menumpuk hingga ke gang-gang sempit. Permukaannya memantulkan bayangan pepohonan, rumah, dan kaki-kaki warga yang lalu lalang.

Di muka hampir semua rumah, kita bisa melihat produk berbahan kaleng tersusun rapi. Ada panci, kompor, kaleng kerupuk, tempat sampah, langseng, penggorengan, oven raksasa, aksesori mobil, bahkan knalpot sepeda motor. Barang-barang itu menunggu diangkut ke sejumlah pasar terutama di Jabodetabek.

Yang lebih khas dari kampung ini adalah suara tak-tek-tok yang bising. Bayangkan, di sana ada 135 keluarga yang membuka bengkel produksi kerajinan berbahan kaleng. Setiap bengkel menghasilkan suara tak-tek-tok yang keluar dari benturan palu menempa pelat kaleng. Bunyi itu terdengar ritmis dan bersahut-sahutan. Dedi Ahmadi (33), anak muda Kampung Dukuh, mengatakan, bunyi mulai terdengar di pagi hari dan baru berhenti malam hari. ”Yang bisa menghentikan suara tak-tek-tok di kampung ini hanya azan, waktu makan, dan istirahat,” ujar Dedi berseloroh.

Begitulah, bunyi kaleng bagai detak jantung yang menandakan bahwa ”kampung kaleng” masih ada. ”Kalau suara itu hilang artinya perajin kaleng di sini semuanya sudah bangkrut,” tambah Dedi.

Pelanggan tukang bakso

Siang itu, ia mengajak kami mampir ke bengkel kerja milik Anwarudin (45) di pojok kampung dekat kuburan. ”Konser” kaleng seperti menyambut kedatangan kami. Di sana ada dua pekerja yang sedang membuat langseng berbahan pelat kaleng tebal. Pelat-pelat itu mereka gunting dengan aneka pola. Lantas mereka ketok dan sambung hingga berbentuk silinder.

Anwarudin mengatakan, semua pekerjaan di bengkel kerjanya masih dilakukan secara manual. Itu sebabnya, bengkelnya hanya bisa memproduksi sekitar 10 langseng aneka ukuran setiap hari. Langseng itu ia jual dengan harga antara Rp 110.000-Rp 150.000 per buah. Barang serupa setelah masuk ke toko kelontong, harganya bisa melonjak hingga dua kali lipat.

”Pelanggan kami kebanyakan tukang bakso. Kalau bapak mau jualan bakso, silakan beli langsengnya di sini, mumpung harga pabrik,” kata Anwarudin bercanda.

Di rumah Nurman (38) yang menyempil di dalam kebun, beberapa pekerja sedang merakit oven. Oven yang ia produksi sebagian berukuran jumbo dengan panjang lebih dari 1 meter. ”Biasanya yang beli oven seperti ini tukang roti,” katanya mulai bercerita.

Ia hanya sanggup membuat 2-3 unit oven ukuran sedang dan besar setiap hari. Oven produksinya ia jual antara Rp 450.000-Rp 2,3 juta bergantung pada ukuran. Tidak jauh dari rumah Nurman, ada beberapa rumah yang memproduksi alat penyiram air, panci, hingga aneka aksesori mobil. ”Pokoknya semua perabotan berbahan pelat kaleng bisa dibuat di sini,” tambah Nurman.

Hampir semua perabotan kaleng yang diproduksi di kampung itu, lanjut Nurman, mengalir ke sejumlah sentra penjualan perabotan di Jakarta, seperti Cawang, Jatinegara Mester, Jembatan Lima, Tanah Abang, dan Mayestik. Kadang, ada juga pesanan dari luar wilayah Jabodetabek.

Tiga generasi

Bagaimana Kampung Dukuh bisa menjadi ”kampung kaleng?”. Para perajin tidak bisa bercerita banyak soal itu. Mereka hanya ingat bahwa usaha kerajinan perabotan kaleng telah berlangsung selama tiga generasi. ”Aki (kakek) saya dulu perajin kaleng, lalu diturunkan ke orangtua, dan sekarang saya yang menjalankan,” kata Anwarudin.

Meski sejumlah pabrik berdiri di sekitar Citeureup, mereka tidak banyak yang tertarik bekerja di sana. ”Saya pernah cari pengalaman bekerja di pabrik, tapi cuma tahan satu minggu. Setiap hari saya cuma nengokin jam menunggu waktu pulang tiba. Akhirnya, saya berhenti dan memilih jadi perajin oven. Hasilnya seminggu saya bisa mutar uang Rp 20 juta-Rp 30 juta. Keuntungan bersihnya 10 persen.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com