Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 03/02/2014, 09:43 WIB

Oleh: Rhenald Kasali
 
KOMPAS.com - Setelah lama menyaksikan pertarungan antara Dewan Pengawas TVRI dengan Komisi I DPR, yang bak cerita silat karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo, sengkarut itu kini memasuki babak baru. Komisi I akhirnya bersurat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meminta pemberhentian Dewan Pengawas. Kita masih menunggu bagaimana reaksi Presiden atas surat tersebut.

Apa pun keputusan Presiden kelak, buat saya, ribut-ribut ini terasa sangat menjengkelkan. Apalagi setelah Komisi I membekukan anggaran TVRI—kecuali untuk biaya operasional dan gaji pegawai. Dengan dibekukannya anggaran, TVRI tak bisa membuat dan menayangkan program-program baru.

Mereka hanya tak berani pada KPK

Akhirnya sebagian acara TVRI adalah acara tayang ulang. Saya dan bersama-sama rakyat pembayar pajak—yang dari uang pajak itulah dialokasikan untuk anggaran TVRI dan membayar gaji anggota Komisi I DPR—jelas sangat dirugikan dengan banyaknya acara tayang ulang. Setelah bersusah payah merebut kembali penontonnya yang telah berpaling ke program-program TV sinetron dan berita politik tak bermutu, kini investasi itu seperti dibiarkan menguap, hanya demi syahwat politik dan acu kencang wibawa.

Itu jelas kerugian yang harus kita tanggung akibat masing-masing pihak yang bersengkarut tersebut sudah mengusung semangat win-lose, bukan lagi win-win!  

Seperti yang anda ketahui, saya juga mengisi salah satu program di TVRI yang denyut nadinya mulai kita rasakan. Memang semula terus terang saya malas mengisi program di stasiun yang terkesan tua dan tak terurus ini.  Namun ketika direksi dan dewan pengawas meyakinkan saya bahwa mereka benar-benar menghendaki perubahan, maka masuklah saya ke sana. Apalagi peluncuran tayangan-tayangan baru itu dilakukan dihadapan sejumlah anggota DPR yang seakan-akan setuju pentingnya perubahan.  Itu dilakukan bersamaan dengan pesta emas TVRI yang saya yakini sebagai kebangkitan kedua sejak digelorakan Bung Karno.

Maka ketika anggaran TVRI dibekukan, dan penonton program saya mempersoalkannya, sayapun masih memberikan pandangan-pandangan netral, sampai saya mengerti betul masalahnya.   Namun sekarang saya kira sudah jelas betul, keributan ini tak ubahnya pertarungan kekuatan, dengan warna politik-kekuasaan yang amat dominan.  Bahkan nyaris tak ada bedanya dengan pertarungan antara Komisi III dengan KPK yang ingin memangkas kewenangan atau kekuasaan KPK.  

Bedanya, KPK benar-benar dikawal masyarakat sipil dan para elit, sehingga sekalipun anggota dewan terus ditangkapi, mereka tak diberi ruang mengakali KPK.  Bagaimana TVRI?  Mungkin sebagian kita mengatakan, biarkan sajalah dia mati. Sudah tua pula dan banyak penyakitnya. Toh sudah banyak stasiun TV lain yang jauh lebih bermutu sekalipun membuat kita tegang dan hanyut oleh opini yang diarahkan.  Tapi benarkah Indonesia tidak membutuhkan stasiun televisi yang benar-benar membanggakan bangsanya seperti BBC atau NHK? Dapat kita benarkankah campur tangan politik yang berlarut-larut yang menyalahi UU? Bisakah stasiun TV menjadi besar kalau ia tak diperkenankan menyelesaikan masalahnya sendiri dan membangun governance-nya?

Beda bungkus dan isi

Bagi mereka yang mengikuti beritanya melalui media massa sejatinya tidak sulit untuk membaca ada apa di balik peristiwa ini. Saya mendengar ada bisik-bisik santer yang mengaitkannya dengan kian dekatnya Pemilu Legislatif. Namun, tentu saja bisik-bisik itu ibarat, maaf, orang buang angin. Kita hanya bisa mencium baunya, tetapi tidak akan pernah bisa melihat wujudnya.

Baiklah supaya agak lebih jelas, mari kita coba analisis sekilas bagaimana duduk perkara dari ribut-ribut tersebut.  Saya melihat dari kacamata independen, yang meski hanya sedikit, pernah bersentuhan dengan TVRI, mengikuti sejarah TVRI, dan membedahnya dengan kacamata manajemen.  Kegusaran saya terutama adalah pada pemborosan yang terjadi, ancaman bagi keberlangsungan, dan pudarnya masa depan. Dengan kata lain: buang uang dan hanya melakukan langkah sia-sia yang menyakitkan.

Saya mulanya menangkap kabar dari rapat dengar pendapat (RDP) di antara mereka yang terkesan konstruktif. Komisi I mendukung proses revitalisasi TVRI dan meminta Dewan Pengawas merumuskan rencana strategis (renstra) tahun 2011-2016. Komisi I juga meminta proses pemilihan dewan direksi TVRI dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Sesuai UU No. 32/2002 tentang Penyiaran dan PP No. 13/2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI, kewenangan mengangkat dan memberhentikan direksi ada di Dewan Pengawas. Lalu, Komisi I juga meminta Dewan Pengawas mengawasi realisasi anggaran TVRI oleh Pelaksana Tugas Direksi TVRI.  Betapa bagusnya gagasan-gagasan itu.

Benih-benih persoalan mulai muncul pada RDP berikutnya. Komisi I menilai pemilihan direksi TVRI prosesnya kurang transparan, akuntabel dan profesional. Lalu, Komisi I meminta Dewan Pengawas menyerahkan semua dokumen seleksi direksi TVRI. Padahal, bukankah itu domain dewan pengawas yang dilindungi oleh Undang-undang? Soal teman kita tak terpilih, di era governance ini saya kira biasalah. Tapi kalau karena tersinggung lalu bungkusnya adalah akuntabilitas, tentu saja bisa lain jadinya.

Hubungan keduanya kian memanas dan intervensi beberapa anggota Komisi I pun kian dalam. Sekelompok orang dalam Komisi itu meminta Dewan Pengawas meninjau ulang keputusannya mengangkat direksi TVRI, meminta penjelasan penggunaan dana non APBN TVRI, penggunaan anggaran non operasional, evaluasi kinerja direksi TVRI, dokumen satuan tiga anggaran TVRI, dan dokumen kontrak manajemen dewan direksi TVRI.  Di tengah sengkarut itu, ada masalah baru: TVRI menayangkan muktamar Hizbut Tahir Indonesia (HTI) yang membuat berang anggota Komisi I lainnya.

Lalu, ketika direksi TVRI diberhentikan oleh Dewan Pengawas, Komisi I berbalik arah. Mereka meminta agar direksi TVRI—yang telah diberhentikan oleh Dewan Pengawas—tetap menjalankan tugasnya. Komisi ini juga mengancam  akan membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk mengkaji persoalan-persoalan di TVRI, serta membekukan anggaran TVRI—kecuali untuk gaji dan operasional.  

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com