Bermodalkan tubuh sehat dan kuat, para pencari rotan bertahan selama 10 hari menelusuri beratnya medan hutan. Untuk mengatasi ganasnya alam, mereka melengkapi diri dengan sepatu boot, parang, panci penanak nasi, serta beras dan minyak goreng. Pun, tak ada alas tidur yang memadai untuk bermalam di tengah hutan.
Para pengumpul rotan biasanya menghabiskan waktu hingga 12 jam untuk menempuh perjalanan 20 Km agar tiba di Pegunungan Peunceuk, kawasan Jeunib, yang dikenal banyak ditumbuhi rotan.
Biasanya, satu kelompok beranggotan tiga orang yang hanya mampu membawa pulang 50 kg rotan basah dalam satu kali berangkat. Kendati basah saat dipotong, dalam perjalanan pulang yang memakan waktu cukup lama juga akhirnya rotan-rota mengering dan beratnya susut.
“Setelah tiba di kampung, berat rotan yang tersisa berkisar antara 15-20 kg padahal tadinya 50 kilogram di hutan,” kata Ali Basyah (60), pengumpul rotan, Rabu (5/3/2014), seraya menyebutkan cara membawa pulang rotan dengan mengikat bentuk melingkar agar mudah dipikul.
Ironisnya, harga rotan per kilogram yang dibeli agen hanya Rp 8.000 untuk jenis rotan bulan yang sering digunakan untuk pembuatan kursi, meja, tudung saji. Untuk rotan yang telah dibelah menjadi tali pengikat atap rumbia, dijual Rp 2.000 per ikat dengan panjang 1,5 meter.
Kendati dalam 15-20 kilogram rotan kering menghasilkan 200 sampai 250 ikat rotan sebagai tali pembuat atap, namun Ali Basyah dan kawan-kawannya hanya mampu menghasilkan 25-30 ikat rotan seharga Rp 2.000 setiap ikatnya.
Jika dihitung-hitung, per hari ia hanya mampu memperoleh penghasilan Rp30 ribu dari hasil penjualan rotan-rotan kering ke kota kecamatan terdekat.
Mereka berprinsip, daripada tak bekerja, ada baiknya memilih bersabar dan bertahan di tengah sulitnya perekonomian mereka "mengasapi" dapur keluarga.
“Hanya kami yang tua-tua masih melakoni kegiatan ini, anak muda sekarang mana mau lagi,” kata Ali dengan raut letih.
Hanya satu harapannya, harga rotan berangsur membaik sehingga harga jual sepantas dengan modal yang mereka keluarkan saat menjelajahi hutan selama puluhan hari. “Pemasaran masih cukup baik di beberapa kecamatan, tapi selama ini harga jual tetap segitu-gitu aja di tengah harga barang lain yang terus-menerus naik, rasanya tak adil,” lanjut Ali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.