KOMPAS.com - Mendengar nama kecoa mungkin yang terpikir di benak kita adalah binatang bau dan menjijikkan yang ada di tempat-tempat kotor dan lembab. Tetapi pandangan itu hanya berlaku buat kecoa lokal. Lain halnya dengan kecoa Madagaskar.
Kecoa Madagaskar dengan nama latin Gromphadorhina portentosa merupakan salah satu kecoa terbesar yang ada di jagad raya. Pada usia produktif sekitar enam sampai delapan bulan, panjangnya bisa mencapai 9 centimeter (cm). Saat usianya lebih dari setahun panjangnya bisa 13 cm.
Tidak seperti kecoa yang sering kita temui, kecoa Madagaskar unik, menarik dan eksotis sehingga memikat banyak orang untuk menjadikannya hewan peliharaan.
Selain tidak bau, keunikannya lainnya adalah tidak memiliki sayap dan dapat mengeluarkan bunyi desis saat tubuhnya ditekan. Desis nyaring yang dihasilkan merupakan senjata andalan yang digunakannya untuk mengejutkan pemangsa.
Selain buat hewan peliharaan, kecoa berwarna hitam dan cokelat ini juga bisa buat pakan beberapa hewan peliharaan seperti reptil, tarantula, ikan dan lain-lain. Kecoa memiliki kandungan protein tiga kali lebih tinggi dari jangkrik.
Lantaran peluangnya menjanjikan, usaha beternak kecoa madagaskar kini marak di berbagai daerah. Salah satu pembudidaya kecoa ini adalah Mifta Alfian Rizki di Surabaya.
Berawal dari tiga pasang kecoa pemberian temannya, ia membudidayakan kecoa tanpa sayap ini sejak 2009. Saat ini, Mifta sudah memiliki ratusan ekor kecoa Madagaskar. "Kecoa ini sangat cepat berkembang," katanya.
Menurut Mifta, kecoa Madagaskar ini sekali beranak bisa menghasilkan sekitar 20-60 ekor anakan kecoa. Mifta mengaku, awalnya kecoak ini hanya dijadikan sebagai hewan peliharaan. Tapi sejak tahun 2011 lalu, kecoak ini berkembang menjadi pakan ternak.
Mifta menjual kecoa dewasa produktif dengan harga Rp 50.000-Rp 75.000 per pasang. Sedangkan kecoa yang sudah tua dijualnya dengan harga Rp 10.000 - Rp 20.000 per pasang.
Dalam sebulan, ia bisa menjual 20 pasang kecoa. "Kebanyakan yang beli memang untuk pakan ternak dan untuk dibudidayakan kembali," ujar Mifta yang memasarkan kecoak Madagaskar lewat internet. Kebanyakan konsumennya berasal dari Surabaya, Jakarta dan Yogyakarta.
Peternak lainnya adalah David di Jakarta. Ia bisa menjual 100 pasang kecoa setiap bulannya dengan harga Rp 10.000 per pasang. "Omzet saya bisa lebih dari sejuta setiap bulan," kata David yang menjadikan usaha ini sebagai bisnis sampingannya. David mulai membudidayakan kecoa Madagaskar sejak awal tahun 2013.Budidaya
Kendati bukan binatang asli Indonesia, menangkarkan kecoa Madagaskar (Gromphadorhina portentosa) tidak sulit. Kecoa asal Amerika Serikat ini memiliki gerakan yang lebih lambat dari kecoa yang sering ditemui di rumah, sehingga gampang ditangani.
Kecoa ini bisa ditangkarkan dengan membuat kandang dari terrarium atau akuarium khusus untuk reptil. "Atau bisa juga dengan kontainer plastik," kata David.
Kandang juga dapat didesain menyerupai habitat aslinya di hutan. Berbagai macam media dapat digunakan sebagai tempat tinggalnya, seperti pasir atau serbuk kayu. Bisa juga dengan menambahkan sepotong kayu ke dalam kandang sebagai tempat persembunyiannya.
Untuk indukan yang sudah produktif, kini banyak dijual di pasar hewan. Kecoa ini sudah mulai produktif ketika berusia enam sampai delapan bulan. Menurut David, kecoa ini cepat berkembang biak. "Sekali beranak bisa 20 sampai 40 ekor," katanya.
David sendiri memelihara ratusan pasang kecoa. Untuk pakannya bisa diberikan sayur dan pelet. Pemberian pakan cukup dilakukan sekali dalam seminggu. “Biasanya saya kasih pelet satu mangkuk dalam seminggu,” ujarnya.
David bilang, kecoa Madagaskar dapat hidup dengan baik dalam suhu ruangan dan kelembapan indoor. “Budidayanya mudah, asalnya tempatnya jangan sampai berjamur,” ujarnya.
Sementara Mifta bilang, kecoa ini berkembang biak dengan telur. Namun saat keluar dari tubuh sudah berbentuk anak. “Kalau keluar kayak telur, anakannya akan gagal,” tuturnya.
Ia mengatakan kecoa Madagaskar merupakan jenis hewan omnivora atau pemakan segala. Namun, Mifta hanya memberikan sayur-sayuran, buah dan pelet. Dalam sebulan, ia mengaku hanya menghabiskan biaya buat pakan sebesar Rp 20.000 –Rp 50.000. “Saya biasanya ambil sisa sayur di pasar dan buah pisang,” ujar Mifta yang kini menangkarkan ratusan kecoa.
Selama penangkaran, Mifta memisahkan antara kecoa muda, kecoa produktif dan kecoak tua. “Saya pisahkan biar lebih mudah memilihnya jika ada pesanan yang datang,” paparnya.
Untuk membedakan antara jantan dengan betina sangat mudah. Kecoa jantan memiliki ukuran tubuh lebih besar dari betina. Selain itu, pejantan juga memiliki tanduk kecil dengan rambut-rambut halus di dekat kepalanya. Hal-hal tersebut tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang meminati hewan eksotis ini. (Dina Mirayanti Hutauruk, Pratama Guitarra) Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.