Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hanya Orang "Sakit" yang Punya Gairah Menyakiti Orang Lain

Kompas.com - 03/07/2014, 15:31 WIB

                                      Rhenald Kasali
                                      (@Rhenald_Kasali)

Tulisan kedua dari dua tulisan

Sejatinya, pemimpin itu ingin dikenal sebagai pemimpin yang berhasil. Apalah artinya, kalau sekadar “berhasil menjadi presiden”. Apalagi bila kelak gagal. Bukan cuma cacian, melainkan juga ancaman bagi kedamaian. Sebab pemimpin yang gagal akan menuai konflik internal yang tajam dan pembuatan benteng-benteng pertahanan diri yang berlebihan.

Maka sebelum kegagalan tiba, calon presiden dan pengikut-pengikutnya harus mengubah cara pandang. Dari mengedepankan “kepentingan teman-teman” diubah menjadi "kepentingan umum”. Pasukan pemenangan kampanye mempunyai karakteristik yang tak sama dengan pasukan pemenangan pembangunan.

Sejatinya pula leadership adalah sebuah proses, bukan posisi. Maka jauhi orang yang mengedepankan posisi dan fokuslah pada orang proses. Sejarah mengajarkan, jagoan hebat menang di belakang, bukan yang tertawa di depan. Lantas apa yang bisa mengikat pemimpin?

Landasan Moral

Sejatinya juga, kita tak bisa mengevaluasi capres dari visi-misinya belaka. Dalam ilmu manajemen visi-misi tak pernah terpisah dari values. Inilah landasan moral: Visi-Misi-Values.

Nah, kalau kita bandingkan kedua capres, maka kita bisa dibuat bingung. Karena banyak kesamaan jawaban dari sisi logika. Tak heran kalau capres Prabowo Subianto sering  mengucapkan “saya setuju”. Bisa jadi saat menjawab, capres Joko Widodo menjelaskan terlebih dahulu. Atau bisa jadi ia bisa menjelaskan dengan lebih artikulatif karena pengalaman riilnya. Jadi secara logika “banyak kesamaan”.

Dan ini, membuat Anda yang ingin memilih yang terbaik menjadi bingung. Sikap Anda berbeda dengan sikap orang-orang yang fanatik, atau mereka yang telah bersikap.

Kalau boleh saya usulkan, cobalah evaluasi landasan moral mereka. Ya, values-nya. Kita masih punya waktu untuk menilai, bahkan mengajukan pertanyaan, menitipkannya pada para wartawan/moderator debat. Atau kalau tak bisa juga, lakukan analisis pribadi saja.

Pertama, tanyakan dan periksalah, apakah mereka dikelilingi oleh orang-orang yang punya respek. Mudah kok. Orang-orang yang punya respek tak asal menghina, tidak reaktif. Mereka tidak mencla-mencle, mereka tahu bahwa kampanye ini hanya 40 hari ketimbang 5 tahun di pemerintahan nanti. Jadi harusnya mereka berhitung.

Orang-orang yang tak punya respek berorientasi pada apa yang diucapkan lawan-lawannya, lalu mencari celah untuk menghina. Bukan untuk menguji. Yang dihina pun adalah aspel-aspek emosional, seperti agama, suku, keturunan, istilah, atau hal-hal lain yang bersifat fitnah.

Ingatlah, rakyat tak respek pada pemimpin-pemimpin yang tak punya respek. Orang-orang seperti itu akan sulit melakukan transformasi, karena kehilangan trust.

Kedua, pelajari apakah mereka mencari kebenaran atau pembenaran. Orang-orang yang mencari kebenaran cenderung realistis dan mengakui kesalahan, bahkan tidak mengambil orang-orang yang tak baik dalam teamnya. Sedangkan yang bekerja dengan pembenaran akan selalu membenarkan yang tidak benar, sekalipun itu perbuatan tercela.

Ketiga, adakah kekuatan “uang” di balik semua dukungan yang diberikan? Meski hal ini sulit dibuktikan, kita punya perasaan dan naluri. Uang akan membuat manusia buta terhadap kebenaran, dan berani melacurkan moralitas.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com